JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) menggelar rangkaian acara “Ekonomi Biodiversitas Indonesia: Sains, Kebijakan, Peluang, dan Tantangan” yang diselenggarakan secara virtual beberapa waktu lalu.
Acara tersebut untuk membedah laporan ekonomi biodiversitas terbaru “The Dasgupta Review”, karya Prof. Partha Sarathi Dasgupta. Hal penting yang disorot dalam The Dasgupta Review adalah bagaimana secara kolektif masyarakat dunia telah salah mengelola sumber daya alam karena kebutuhan konsumsi yang jauh melebihi kapasitasnya.
Akibatnya, kemakmuran dunia saat ini telah menghancurkan alam, dan diperlukan 1,6 bumi untuk mempertahankan standar kehidupan dunia saat ini. Oleh karena itu, laporan tersebut menyarankan solusi untuk memulai dengan memahami dan menerima kebenaran sederhana bahwa ekonomi kita tertanam di dalam alam, bukan di luarnya.
Menyikapi laporan tersebut, ALMI mencoba menelaah masa depan biodiversitas dan kaitannya dengan pertanian di tiga daerah, yaitu: Riau, Kalimantan Selatan, dan Papua Barat.
Rangkaian acara mempertemukan ilmuwan, pembuat kebijakan, praktisi muda untuk berdiskusi tentang peluang dan tantangan untuk keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan biodiversitas di Indonesia yang berbasis sains.
“Upaya melihat biodiversitas dan pertanian dilaksanakan pada tiga waktu yang berbeda di tiga lokasi, yakni: Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Papua Barat,” ujar Sonny Mumbunan, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)
Untuk Provinsi Riau, gelaran virtual dilaksanakan pada tanggal 25 Maret. Sementara di Kalimantan Selatan, acara dilaksanakan pada 26 Maret; dan Provinsi Papua Barat pada 29 Maret 2021.
Secara garis besar, menurut Sonny, ketiga sesi memfasilitasi pemaparan tentang kerangka kerja hubungan pertanian tropis dan biodiversitas serta temuan awal penelitian tentang hubungan pertanian tropis dan biodiversitas.
Kerangka kerja juga memperhitungkan komponen biodiversitas yang hidup di agroekosistem dan habitat alami, serta memperhitungkan bencana alami dan manusia.
“Hubungan pertanian tropis dan biodiversitas juga memiliki pembagian spasial yaitu agroekosistem dan habitat alami, dan pengelompokan spesies liar yang jelas,” kata Sonny Mumbunan.
Temuan awal penelitian juga menjelaskan tentang hubungan pertanian tropis dan biodiversitas, khususnya pada komoditas pangan prioritas dan komoditas kopi. Secara umum, pertanian tropis menunjukkan dampak pengelolaan pertanian terhadap biodiversitas sangat besar ke arah negatif.
“Sementara dampak biodiversitas terhadap pertanian tidak signifikan,” ujar Sonny.
Temuan awal ini diharapkan menjadi acuan untuk membahas rencana food estateyang digagas oleh pemerintah Indonesia, “supaya sejalan dengan perwujudan pertanian yang berkelanjutan untuk biodiversitas tropis,” pungkas Sonny.
Sementara untuk komoditas kopi, proses penelitian masih dalam proses penapisan tahap 2. Adapun implementasi praktik pertanian berupa agroforestri atau polikultur yang berpotensi lebih ramah terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dianggap memberikan keuntungan sosial-ekonomi yang lebih baik.
Keseluruhan rangkaian acara itu menjadi pengingat bahwa solusi untuk keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan biodiversitas harus “dimulai dengan memahami dan menerima kebenaran sederhana: ekonomi kita tertanam di dalam alam, bukan di luarnya,” seperti disampaikan oleh Prof. Partha Sarathi Dasgupta dalam laporannya.
Rangkaian acara ini diselenggarakan atas kerja sama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, World Research Institute (WRI) Indonesia, The Food and Land Use Coalition, dan didukung oleh Universitas Riau, Universitas Lambung Mangkurat, dan Universitas Negeri Papua sebagai bukti komitmen dalam mensinergikan keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan biodiversitas Indonesia. (Jekson Simanjuntak)