Foto udara permukiman warga yang terendam banjir di Desa Lukulamo, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Rabu (24/07). Foto : Antara.
HALMAHERA, BERITALINGKUNGAN.COM – Sejak 20 Juli 2024, banjir melanda desa-desa di Halmahera Tengah, termasuk Woejerana, Woekob, Lelilef Waibulen, dan Lukolamo, mengakibatkan penderitaan bagi 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang.
Banjir tidak hanya merendam rumah, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi dan memutus akses transportasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI, dan POLRI terus melakukan evakuasi menggunakan alat berat. Warga yang terjebak dievakuasi ke posko-posko, sementara bantuan logistik seperti makanan, air bersih, dan obat-obatan disalurkan.
Kritik WALHI terhadap Kerusakan Lingkungan
Mobalig Tomaloga, Manajer Advokasi WALHI Maluku Utara, melaporkan intensitas hujan di bagian hulu masih tinggi. Enam sungai berpotensi menyebabkan banjir lebih besar.
“Keadaan ini menuntut perhatian serius dari pemerintah daerah dan pusat untuk menangani bencana alam ini dan mencegah dampak yang lebih parah di masa depan,”ujar Mobalig melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (26/07/2024).
Faizal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara, menyoroti deforestasi sebagai penyebab banjir. Dalam dekade terakhir, 26.100 hektar dari 188 ribu hektar hutan primer rusak, terutama oleh pertambangan nikel.
“Deforestasi ini terutama disebabkan oleh penambangan nikel yang masif di Halmahera Tengah,”ujarnya.
Faizal menjelaskan bahwa saat ini di Halmahera Tengah terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 hektar.
Selain itu, terdapat konsesi pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel di kawasan industri Nikel PT IWIP seluas 45.065 hektar. Akibat dari kegiatan pertambangan ini, ekosistem hutan tidak lagi berfungsi optimal dalam menahan laju air. Saat hujan dengan intensitas tinggi, air yang bercampur dengan tanah dan material logam mengalir dengan cepat ke wilayah dataran rendah dan pesisir, menyebabkan banjir yang parah.
Faizal menekankan bahwa hilangnya tutupan hutan memperburuk kondisi lingkungan, meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas guna menghentikan deforestasi dan mengatur aktivitas pertambangan dengan lebih ketat. Selain itu, penting untuk melakukan rehabilitasi hutan yang sudah rusak agar fungsi ekologisnya bisa kembali pulih. ” Tanpa langkah-langkah yang konkrit dan berkelanjutan, bencana serupa akan terus mengancam kehidupan masyarakat di Halmahera Tengah,”imbuhnya.
Tuntutan WALHI Maluku Utara
WALHI mendesak penghentian aktivitas pertambangan yang mengancam ekosistem dan masyarakat. Pemerintah diminta untuk lebih serius dalam menangani bencana ini dan mengatur aktivitas industri dengan ketat.
Selain itu, WALHI juga meminta pemerintah untuk menetapkan status darurat bencana di wilayah terdampak, melakukan evakuasi segera, dan memeriksa penyebab banjir yang diduga akibat jebolnya tanggul.
Solidaritas dan Komitmen
Faizal Ratuela menyerukan solidaritas warga Maluku Utara untuk membantu korban banjir. Pemerintah dan perusahaan tambang diharapkan segera memberikan dukungan materil.
WALHI menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan bencana ini, serta peran masyarakat dalam memastikan kebijakan yang diambil benar-benar efektif dan berpihak pada kepentingan rakyat dan lingkungan (Marwan Aziz)