BADUNG, BERITALINGKUNGAN.COM — Nyoman Watiani (42) petugas pemilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Kedonganan Ngardi Resik (KNR) bercerita tentang upaya pemilahan sampah yang ia lakukan dari rumah. Menurutnya, pemilahan bertujuan untuk memudahkan tugas dalam pengelolaan sampah di TPS3R.
“Kita memilah sampah plastik sisa dari rumah. Setelah itu diolah menjadi cacahan kecil, baru dijadikan kompos. Itu untuk sampah organik,” ungkapnya saat rombongan C20 mengunjungi TPS3R KNR di Kecamatan Kuta Selatan pada Rabu (5/10).
Sementara sampah an-organik, seperti plastik dan botol akan dijual kembali sebagai barang bekas. “Dijual ke ke pemasok, yaitu Eco Bali. Kita kerjasama dengan Eco Bali,” ungkapnya.
Adapun harga jual sampah an-organik per kilogramnya, Watiani tidak mengetahui secara pasti. “Soal harga saya tidak tahu, admin yang punya urusan soal itu,” katanya.
Hanya saja, terkait dengan residu yang dihasilkan dari sampah organik, Watiani memastikan bahwa limbah tersebut ditangani oleh pihak DLHK Badung. Setiap hari DLHK Badung mengirimkan kendaraan ke TPS3R untuk mengangkut sisa residu.
“Pengambilan dilakukan setiap pagi. Misalnya softex, pecahan kaca, tissue yang tidak bisa diolah lagi, pampers bayi juga,” ujarnya.
Khusus sampah yang dikumpulkan dari rumah, telah dipilah terlebih dahulu. Kegiatan memilah sampah berawal dari menjadi kesadaran kolektif di lingkungan tempat tinggal Watiani. Tak heran jika masing-masing keluarga melakukan hal serupa.
“Saya milah sampah di rumah. Di setiap rumah juga begitu. Kita menjadi contoh bagi lingkungan, baru ke warga,” ungkapnya.
Selanjutnya, sampah yang ada di wilayah adat Kedonganan akan bermuara di TPS3R KNR. Kendati demikian, tidak semua warga melakukan pemilahan sampah, karena sejumlah alasan.
“Tapi ada juga yang tidak, karena mungkin lagi malas milah sampah,” ujar Watiani. Adapun TPS3R KNR merupakan milik Desa Adat Kedonganan. Akibatnya, kepemilikannya bersifat kolektif dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat adat.
Hanya saja, khusus terkait pekerja, mereka dibayar dengan sistem gaji bulanan yang disesuaikan dengan UMR setempat. Total pekerja mencapai 21 orang.
“Sistem pembagian, saya hanya menerima gaji perbulan. Disini kita dapat uang untuk tambah-tambahin suami,” paparnya.
Sementara terkait dengan sistem kerja, semua diatur dengan menggunakan metode shifting dengan tetap memberikan jatah libur. Dengan begitu, tidak ada pekerja yang libur di waktu yang bersamaan.
“Disini sistemnya rolling sehingga tidak ada yang libur bareng. Itu dilakukan agar tidak terjadi penumpukan sampah. Soalnya sampah selalu datang,” kata Watiani.
Selama bekerja di TPS3R KNR, hal yang paling berkesan bagi Watiani adalah ketika semua dilakukan bersama-sama. Sedangkan yang kurang berkesan ketika hujan turun. “Biasanya sampah datang dalam keadaan basah,” ungkapnya.
Sama seperti ketika ASPPUK menyambangi TPS3R KNR, sampah yang datang kebanyakan dalam kondisi basah. Untuk itu pengeringan dilakukan terlebih dahulu, sebelum pengolahan sampah mengikuti langkah selanjutnya.
“Dikeringin di bawah, biar airnya hilang. Setelah itu dimasukkan ke mesin untuk dilakukan pencacahan,” kata Watiani.
Bersama-sama
Sejauh ini, pekerja yang terlibat di bagian pemilahan sampah berjumlah 6 orang, ditambah 1 orang di bagian mesin. Adapun yang bertugas bagian lain berjumlah 14 orang, yakni para pemungut sampah.
Secara rata-rata, menurut Watiani, jumlah sampah yang masuk setiap harinya ke TPS3R KNR mencapai 2 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 800 Kg dianggap sebagai residu yang kemudian diangkut oleh kendaraan DLHK Badung.
Khusus sampah organik, Watiani menjelaskan bahwa kapasitas yang mampu diolah oleh TPS3R KNR minimal 1 ton. Hal serupa juga berlaku untuk sampah an-organik. Sampah yang diolah mencapai 1 ton.
“Kecuali dipilah kembali menjadi barang bekas. Biasanya mencapai 1/4 dari jumlah total,” ujarnya.
Selama ini, semua pekerjaan dilakukan secara bersama-sama. Bahkan saat bekerja di bagian mesin, Watiani melakukannya secara bergantian dengan tiga temannya.
“Kemudian di pemilahan juga bertiga. Jika sampahnya belum ada untuk dicacah, maka dipilah bersama-sama. Setelah itu dikerjakan yang di botol sama-sama. Intinya kita di sini kerja sama,” terang Watiani.
Adapun jam kerja dimulai pada pukul 8 pagi dan berakhir pada pukul 5 sore. “Sampai disini jam 8 kurang 15, kita prepare sembahyang dulu, bersih-bersih dan setelah sampahnya datang kita mulai bekerja,” ungkapnya.
Watiani menambahkan, “Itu dimulai pada jam 9 pagi. Saat itu biasanya sudah ada yang bersihin mesin, yang lainnya ada yang milah.”
Pada pukul 12 siang, pekerja biasanya istirahat untuk makan siang. Setelah itu dilanjutkan bekerja sampai pukul 4 sore. “Baru kemudian pulang,” katanya.
Brikat Bioarang dan Tricodherma
Khusus terkait komposisi sampah organik, Watiani menjelaskan jika jumlahnya selalu meningkat seiring upacara keagamaan. Volume sampah paling banyak ketika purnama dan upacara besar keagamaan.
“Saat itu sampah organik bisa mencapai 1.5 ton,” ungkapnya.
Sampah-sampah itu kemudian dicacah sebelum dimasukkan ke lubang berukuran 1.5 m x 1.5 m. Setelah itu dibiarkan selama 4 bulan.
“Setelah dimasukkan kompos yang pertama, kita timbun dengan tanah. Setelah itu dimasukkan kompos dan diikuti dengan tanah dibagian atasnya,’ papar Watiani.
Produksi kompos kemudian diujicoba terhadap tanaman. Menurut Watiani, hasilnya cukup baik. Atas dasar itu, kompos yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tambahan media tanam. Bentuknya sebagai pupuk organik yang dicampur ke dalam tanah.
Selain itu, TPS3R KNR menghasilkan jamur Tricodherma sp yang bisa dicampur ke dalam kompos untuk menghambat penyakit pohon. Tricodherma yang dihasilkan berbentuk padat dan cair.
“Fungsinya untuk menghambat penyakit pohon. Pohon yang kena virus jadi sembuh dengan itu,” katanya.
Penggunaan Tricodherma dan kompos menunjukkan bahwa TPS3R KNR tidak menggunakan bahan kimia. Semua produknya berbentuk alami dan organik, sehingga ramah terhadap lingkungan.
Kendati mampu memproduksi Tricodherma, TPS3R KNR belum berani menjualnya secara komersil. Alasannya, produksi yang terbatas dan kualitas yang belum merata.
“Penjualan Tricodherma belum dimulai karena kompos murni organik dari sayuran, daun dan buah. Itu ada 2 petak digunakan sebagai kompos penghambat penyakit pohon,” jelasnya.
Watiani menambahkan, jika hasil laboratorium menunjukkan performa yang bagus, bukan tidak mungkin Tricodherma berpotensi dijual ke publik.
Selain itu, produk TPS3R KNR yang mulai diserap pasar adalah brikat bioarang dalam ukuran kecil. Brikat tersebut dihasilkan dari limbah organik sisa sampah sembayang dan sisa-sisa kayu arang.
“Saat ini, brikatnya sudah dijual ke umum dengan ukuran kecil. Kita mengurusin cara pencetakannya saja. Bahannya berasal dari organik sampah sembayang dan batok kelapa dan kayu arang,” ujar Watiani.
Dia menambahkan, “Yang diluncurkan disini briket dan Tricodherma dari sisa sembayang.” (Jekson Simanjuntak)