Bagi petani, benih merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan. Benih menjadi modal penting bagi kelangsungan kehidupan petani.
Tidak hanya penting dalam konteks budidaya-ekonomi, namun benih juga menjadi simbol sosial-budaya dan religi yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupannya. Sejarah mencatat, petanilah pihak yang paling berjasa dalam menjaga benih.
Namun sayang saat ini petani justru tak memiliki kuasa atas benih yang selama ini mereka miliki. Menurut Said Abdullah, manager advokasi dan jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), petani tak lagi memiliki kedaulatan atas benih. Penguasa terbesar benih bukan lagi petani tetapi perusahaan.
Dalam waktu kurang dari tiga dekade perusahaan transnasional telah menguasai peredaran benih di dunia. Data ETC Group tahun 2007 menunjukkan sekurangnya 67% pasar benih dengan nilai perdagangan mencapai 14,785 juta dolar dikuasai hanya oleh 10 perusahaan transnasional. Pun di Indonesia, benih dikuasai oleh perusahaan yang sebagian besar berafiliasi dengan perusahaan transnasional. Pada tahun 2008, sekurangnya 71% benih jagung, 40% benih padi, dan 70% benih hortikultura dikuasai perusahaannya.
Sementara Dwi Andreas Santosa dari ICBB menilai perusahaan-perusahaan transnasional telah secara nyata meminggirkan hak-hak petani. Yang nampak adalah upaya ekslpoitasi sumberdaya genetik untuk sebesar-besarnya keuntungan mereka. Padahal penguasaan benih semestinya diserahkan kembali kepada petani.
Untuk menandingi kerakusan perusahaan-perusahaan ini maka pada tanggal 12 Juli 2012, dalam acara sarasehan petani nasional yang dihadiri 70 orang perwakilan petani dan organisasi non pemerintahan dari Jawa dan Sumatera, di Bogor telah dibentuk dan dideklarasikan asosiasi bank benih tani indonesia atau AB2TI (indonesian farmer seed bank asociation). AB2TI ini dirancang untuk mengakomodasi dan mendorong berbagai inisiatif pemuliaan benih yang telah dilakukan petani dan kelompok pemulia benih yang ada.
Said mengutarakan, AB2TI ini dimaksudkan menjadi pusat perbenihan yang dimiliki oleh Petani Indonesia dalam upaya meningkatkan penguasaan dan mewujudkan kedaulatan petani atas benih. Bank benih ini menjadi alat untuk memutus ketergantungan petani ada perusahaan dengan menyediakan berbagai benih bermutu hasil karya mereka sendiri.
Lahirnya B2TI ini juga merupakan kritik tidak langsung atas kebijakan pemerintah masih jauh dari cukup untuk melindungi petani. Regulasi yang ada justru menempatkan petani semakin tersubordinasi dan melanggengkan ketergantungan pada produk-produk perusahaan. Selain undang-undang yang tak berpihak ke petani, program yang digulirkan pun mendorong petani semakin tersubordinasi. Program Bantuan Benih Padi Langsung yang digulirkan pemerintah contohnya. Benih yang digunakan sebagian besar merupakan benih hibrida unggul impor produksi perusahaan besar bukan berasal dari benih lokal produksi petani. Dalam kurun 2007-2012, sekurangnya 5,7 triliun dibelanjakan pemerintah untuk subsidi benih tersebut. Padahal dana sebanyak itu jika dialokasikan langsung untuk mendukung pengembangan perbenihan petani melalui pengembangan bank benih petani akan sangat nyata berguna.
Menurt Dwi Anderas, hadirnya AB2TI ini diharapkan menjadi sistem pendukung budidaya pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian cita-cita kemandirian dan kesejahteraan petani dapat dicapai.
Dalam mencapai cita-citanya, AB2TI akan berfokus pada upaya konservasi melalui koleksi, karakterisasi, indentifikasi benih-benih yang dimiliki petani. Selain itu, akan dilakukan penelitian dan pengembangan teknologi perbenihan, pendampingan dan pelatihan petani pemulia benih, dan advokasi serta kampanye publik.
AB2TI juga diharapkan menjadi media bagi perlindungan atas berbagai upaya pengriminalisasian petani pemulia benih seperti yang terjadi pada tiga petani jagung di Kediri beberapa tahun lalu.
Selain mengawal pembahasan Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di DPR, judicial review atas Undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang system budidaya tanam merupakan upaya advokasi yang menjadi target utama. (Marwan Azis).