
Personil BPBD Kabupaten Karawang melakukan evakuasi warga terdampak banjir pada Selasa (4/3).
Foto: BPBD Kabupaten Karawang
JAKARTA – Deru air yang meluap, rumah-rumah yang terendam, dan ribuan jiwa yang harus meninggalkan tempat tinggal mereka—banjir besar kembali melanda Kabupaten Karawang.
Tiga kecamatan terdampak, dengan ketinggian air mencapai dua meter di beberapa titik, menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu yang terparah dalam beberapa tahun terakhir.
Hujan deras yang mengguyur sejak Selasa (4/3) sore menjadi pemicu utama. Kecamatan Teluk Jambe, Karawang Barat, dan Pangkalan kini berubah menjadi lautan air. Ribuan rumah terendam, sawah dan ladang tenggelam, sementara jalan-jalan utama tidak lagi bisa diakses. Tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karawang melaporkan bahwa lebih dari 10.000 jiwa terdampak, dengan 375 warga harus mengungsi.
Namun, ini bukan sekadar cerita tentang air yang meluap. Ini adalah cerminan bagaimana ekosistem kita bereaksi terhadap perubahan yang terjadi selama bertahun-tahun.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Ph.D., menegaskan bahwa banjir ini adalah hasil dari kombinasi cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan.
“Intensitas hujan yang tinggi tentu menjadi pemicu utama, tetapi kita juga harus melihat bagaimana tata ruang dan alih fungsi lahan berkontribusi dalam memperburuk situasi. Resapan air semakin berkurang, sementara daerah yang seharusnya menjadi buffer justru dipadati oleh pemukiman,” ungkapnya (06/03/2025).
Kondisi ini diperburuk oleh curah hujan tinggi yang sudah diprediksi sebelumnya. Wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Karawang, memang kerap menghadapi ancaman banjir akibat kombinasi faktor hidrometeorologi dan penurunan permukaan tanah.
Di lapangan, tim gabungan masih terus melakukan evakuasi warga terdampak. Tenda pengungsian didirikan, dapur umum mulai beroperasi, dan distribusi bantuan logistik terus dilakukan. Sementara itu, kebutuhan mendesak seperti makanan siap saji, air bersih, selimut, serta hygiene kit masih menjadi prioritas utama.
Tetapi pertanyaannya, sampai kapan ini akan terjadi? Seberapa sering kita harus menyaksikan pemandangan yang sama setiap musim hujan tiba? Apakah kita hanya akan terus bereaksi tanpa pernah melakukan langkah mitigasi yang lebih serius?
Pemerintah Kabupaten Karawang telah menetapkan status Siaga Darurat Bencana hingga Mei 2025, menunjukkan bahwa ancaman ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. BNPB pun mengingatkan warga untuk tetap waspada dan selalu mengikuti arahan otoritas setempat.
Namun, mitigasi tidak hanya soal tanggap darurat. Ini juga soal bagaimana kita mengelola alam, menjaga daerah resapan air, serta memastikan pembangunan tidak mengorbankan keseimbangan ekosistem (Marwan Aziz).