BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM – Petani kini menjadi subyek pelanggaran HAM, khususnya terkait konflik lahan dan perdagangan bahan pangan yang sering kali jauh dari kata adil. Hal itu terungkap dalam Obrolin Pangan #13 bertema “HAM Petani dalam Relasi Bisnis di Indonesia”, beberapa waktu lalu.
“Salah satu pilar dalam mewakili kedaulatan pangan adalah perdagangan yang adil. Nyatanya, dalam membangun jalan bisnis, petani seringkali terabaikan hak-hak asasinya,” ujar Lily Batara, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Dalam diskusi itu, Lily mengungkapkan hasil survei KRKP April lalu, dimana dari sisi harga, petani bahkan tak pernah mendapatkan harga yang berkeadilan. “Dari 32 kabupaten yang disurvei, ternyata harga panen petani masih jauh di bawah standar HPP (harga pembelian pemerintah-red),” ujar Lily yang bertindak sebagai moderator.
Dari survei itu terungkap, keuntungan yang diterima petani sebagai produsen pangan, dalam rantai perdagangan pangan, ternyata jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan yang diperoleh pengepul, baik pengusaha penggilingan padi maupun distributor. Itu baru dari sisi harga.
Sementara dari sisi penguasaan lahan, menurut Lily juga mengkhawatirkan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang masa pandemi Covid-19 memperlihatkan 9 kasus konflik agraria yang melibatkan petani dengan perusahaan selama periode Maret hingga Mei 2020.
“Artinya petani masih saja diabaikan hak-haknya dalam mengusahakan usaha pertaniannya atau dalam melakukan relasi bisnis,” tegasnya.
Koordinator Nasional KRKP Said Abdullah yang hadir sebagai narasumber mengatakan, diabaikanya HAM petani tampak dari masih “langgengnya” paradigma petani sebagai kelompok marjinal. Itu ditandai dengan masih tingginya tingkat kemiskinan petani di desa.
“Tingkat kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan, bisa jadi ada yang salah dengan sistem perdagangan yang kita miliki hari ini. Ada peran dari private sector terhadap sektor pertanian,” ujar pria yang akrab disapa Ayip itu.
DI tahun 2012, Kementerian Pertanian mencatat, tidak kurang dari 4.134 perusahaan yang melakukan operasi atau usaha di sektor pertanian dalam arti luas dan hortikultura. Kebanyakan perusahaan tersebut menumpuk di sektor perkebunan.
“Ini berubah angkanya dari tahun 2003 dimana sektor perkebunan belum terlalu dominan,” kata Ayip.
Menurut Ayip, implikasi sektor pertanian dengan keberadaan private sector menjadi lebih kuat dan ketersediaan pangan meningkat. Namun di sisi lain, semakin besarnya peran perusahaan di sektor ketahanan pangan berakibat pada termarjinalisasinya petani, jika perlindungan terhadap mereka tidak diberikan.
“Situasinya akan berat bagi teman-teman petani kalau tidak ada upaya perlindungan,” tegasnya.
Karena itu, Ayip mendorong implementasi HAM pada sektor pertanian. “Kira-kira apa yang bisa kita siapkan? Prinsip apa yang perlu dibuat? Apakah strategi yang kami lakukan, mendorong forum stakeholder menjadi strategi yang sangat baik untuk mempercepat perlindungan dan pengawasan implementasi HAM di level praksis?” tanya Ayip.
Menjawab pertanyaan tersebut, Kasubdit Kerjasama HAM Ditjen HAM Kemenkumham Dr. Andi Taletting Langi menegaskan, secara formal, ketika berbicara HAM, perangkat aturan hukum yang ada sebenarnya sudah mencakup perlindungan bagi sektor pertanian. Beberapa peraturan perundangan meski tak secara spesifik menyebutkan hak asasi petani, secara esensi menegaskan perlindungan HAM atas petani.
Misalnya, UU Nomor 39/1999 tentang HAM. “Tidak secara spesifik menyebutkan mengenai hak petani, namun melindungi hak manusia secara umum dan membagi ke dalam 10 hak dasar,” papar Andi.
Kemudian, dalam UU Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang secara khusus mengatur perlindungan petani dalam pasal 12-pasal 29.
Selain itu, ada UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Pertanyaannya, apakah seluruh perangkat instrumen tersebut sudah mampu melindungi hak asasi petani? Implementasinya memang harus dipastikan,” ujarnya.
Andi menjelaskan, menegakkan HAM petani merupakan hal yang wajib dilakukan. “Karena kalau kita bicara pangan, adalah kebutuhan mendasar, apakah kita bisa bertahan hidup tanpa pangan?” tanya Andi.
Implementasi perlindungan HAM petani, menurut Andi, semakin mendesak dilakukan di masa pandemi Covid-19. “Dalam kondisi ini, keterbatasan akses menjadikan petani sebagai kelompok yang paling terdampak. Karenanya negara harus memastikan berbagai sektor telah menerapkan sistem yang melindungi HAM petani,” tegas Andi.
Sementara itu, Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice Gunawan mengingatkan, instrumen hukum dan mekanisme nasional sudah memadai, ditandai dengan adanya beberapa UU yang menjamin perlindungan terhadap petani, termasuk UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Kemudian juga bentuk perlindungan dari pengesahan perjanjian internasional seperti perjanjian internasional sumber daya genetik tanaman pangan dan pertanian, kovenan internasional hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya), dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Melalui instrumen ini, seharusnya mampu menjamin perlindungan HAM petani.
“UU seharusnya mampu melindungi petani, hak kepemilikan lahan, redistribusi, dan inovasi dibidang pertanian termasuk inovasi benih pangan,” kata Gunawan.
Sementara terkait dengan apakah semua instrumen tersebut mampu melindungi petani, Gunawan menyebut, salah satu indikator bisa dilihat dari laporan Komite Ekosob yang berisi revisi atas hal-hal yang harus dilaporkan oleh negara-negara pihak berdasarkan Pasal 16 dan 17 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Di antaranya menyangkut petani yang tidak memiliki lahan, petani yang termarjinalkan, buruh di pedesaan dan pengangguran di pedesaan.
“Mengacu pada kovenan ekosob, salah satu indikator pemenuhan hak atas pangan adalah terkait pemenuhan hak atas tanah bagi masyarakat. Pemenuhan hak atas tanah merupakan pemenuhan hak atas pangan,” tegasnya.
Karena itu, reforma agraria menjadi elemen kunci, apakah negara telah menjamin HAM petani, dalam hal ini memenuhi hak atas tanah sebagai pemenuhan hak atas pangan. “Reforma agraria merupakan elemen mendasar bagi pemenuhan HAM petani,” jelas Gunawan.
Di sisi lain, ketimpangan akses atas lahan masih terjadi, konflik terkait lahan masih tinggi. Hal itu menjadi indikator bahwa pemerintah dengan segala perangkat hukumnya belum melindungi HAM petani. Kondisi itu diperparah dengan masih tingginya kasus-kasus terkait konflik lahan yang umumnya melibatkan aktor negara, swasta melawan petani.
Daniel, perwakilan Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mengatakan, secara aturan hukum, sebenarnya perangkat aturan untuk perlindungan HAM petani sebenarnya sudah banyak. Hanya saja, fakta di lapangan menunjukkan, kasus pelanggaran HAM justru seperti mengantre.
“Belum habis kasus yang satu, sudah muncul kasus yang lain. Jadi persoalannya bukan pada ada-tidaknya hukum, tetapi bagaimana pengawasan menjadi efektif sehingga pemerintah tidak kehilangan muka, seakan tidak bisa menjaga anak negeri dalam pangkuan ibu pertiwi,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)
–>