Ilustrasi petani muda Photografer : Avianrinandhi. |
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Lambatnya laju regenerasi petani menjadi persoalan penting bagi sektor pertanian yang bisa mengancam cita-cita kedaulatan pangan pemerintah.
“Persoalan ini tak hanya muncul di level nasional namun juga global. Secara umum sektor pertanian mengalami penuaan (ageing)dan populasi petani terus berkurang,” kata Said Abdullah, koordinator koalisi rakyat untuk kedaulatan pangan (KRKP) melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Diungkapkan, petani di sub-sahara Afrika rata-rata berusia 60 tahun, di amerika rata-rata berusia 55 tahun. Sementara di Indonesia, berdasarkan data sensus pertanian 2013 diketahui bahwa 61,8 persen berusia di atas 45 tahun dan hanya 12,2 persen saja yang berusia di bawah 35 tahun. Khusus untuk petani tanaman pangan sebanyak 47,57 persen berusia diatas 50 tahun.
Menua dan berkurangnya petani pada level global tentu saja menjadi tantangan produksi pangan dunia. Produksi pangan menurun sementara permintaan akan terus tumbuh. Dengan situasi ini maka penyediaan pangan tak bisa lagi mengharapkan atau bergantung pada pasar global. Penguatan produksi pangan dalam negeri menjadi kunci jika ingin terbebas dari kondisi rawan pangan.
Menurut Said, persoalan regenerasi petani ini tidak bisa dianggap main-main. Ini persoalan urgen yang harus diatasi jika ingin berdaulat pangan seperti yang dicita-citakan dalam nawacita.
Terkait persoalan regenerasi petani ini, KRKP menilai tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja karena persoalan pertanian dan petani lintas sektor multidisiplin. Upaya regenerasi harus menjadi kerja kolektif semua pihak. Hal ini merujuk pada hasil kajian yang dilakukan KRKP yang didukung oleh Oxfam Indonesia awal tahun ini yang memetakan faktor-faktor yang berpengaruh pada minat untuk menjadi petani.
Hasil kajian menunjukkan 54 persen responden anak petani hortikulutra mengaku tidak ingin menjadi petani. Sementara 63 persen anak petani padi mengaku tidak ingin menjadi petani. Ketidaktertarikan generasi muda pada pertanian ini menunjukkan betapa sektor pertanian tak memiliki daya tarik yang mampu mengalahkan sektor lainnya terutama industri. Anak-anak muda mengaku lebih memilih menjadi buruh industri karena pendapatannya lebih pasti.
Faktor akses dan aset lahan, kepastian harga jual atau pendapatan, pengetahuan atau pendidikan tentang pertanian dan ketersediaan infrastruktur pendukung menjadi faktor penting yang mempengaruhi minat orang tua dan anak untuk menjadi petani. Faktor-faktor ini adalah kunci yang harus disentuh oleh pemerintah supaya minat generasi muda meningkat.
Sementara itu, Suryo Wiyono, Peneliti Utama Pusat Kajian Strategis Kebijakan Pertanian sekaligus Kepala Departemen Proteksi Tanaman IPB, mengatakan, persoalan regenerasi pertanian juga dimulai dari pendidikan. sudah saatnya dilakukan pembenahan pada aspek pendidikan sehingga mampu membangkitkan semangat generasi muda untuk menajdi petani.
Ketersediaan lembaga pendidikan yang khusus pertanian dengan kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan pertanian kekinian perlu diperkuat dan diperbanyak.
Pada sisi lain perlu juga dipertimbangkan untuk memperkuat pendidikan vokasi pada level pendidikan tinggi. Dengan demikian diharapkan semangat dan minat generasi muda untuk bertani kembali tumbuh.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat generasi muda hendaknya dilakukan dengan tepat dan menjawab persoalan mendasar. Oleh karenanya, KRKP mendesak pemrintah untuk melakukan serangkaian program dan kebijakan.
Program dan kebijakan tersebut adalah reforma agraria untuk meningkatkan akses dan aset petani, penguatan kebijakan harga jual (subsidi output) untuk kepastian pendapatan, pembenahan dunia pendidikan pertanian dan peningkatan sarana dan prasarana pertanian.
Kebijakan dan program tersebut haruslah dilakukan secara utuh. Jika hanya berkutat pada satu program atau kebijakan saja maka dampak yang dihasilkan tak akan maksimal.
“Kegagalan melakukan regenerasi petani, tak hanya akan mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan namun juga kelangsungan kehidupan pertanian dan petani itu sendiri. Upaya yang holistik haruslah dilakukan dan tak bisa lagi hanya basa basi jika benar ingin mewujudkan nawacita, berdaulat pangan.”tandasnya (BL)
–>