GLASGOW, BERITALINGKUNGAN.COM — Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan saat ini Indonesia masih berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), yaitu sebesar 29% dengan upaya sendiri.
Indonesia juga telah menyampaikan strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim (Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050) yang sering disebut LTS-LCCR 2050. Strategi tersebut, memungkinkan pengurangan emisi GRK Indonesia secara lebih tajam mulai tahun 2030 dan mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
“Berdasarkan perhitungan LTS-LCCR 2050, Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 50% dari kondisi business as usual, terutama dengan dukungan Internasional,” kata Luhut pada saat High Level Session di Paviliun Indonesia pada COP26, Senin (1/11).
Terkait negosiasi COP26, salah satu yang menjadi perhatian Indonesia adalah masih belum selesainya negosiasi Artikel 6 Paris Agreemeent. Padahal menurut Luhut, penyelesaian negosiasi Artikel 6 akan memudahkan negara berkembang seperti Indonesia untuk memobilisasi pendanaan dalam pengendalian perubahan iklim.
Artikel 6 Paris Agreement mengatur pendekatan kooperatif (Cooperative Approaches), tentang penggunaan mekanisme pasar karbon dan non-pasar karbon untuk pencapaian NDC.
“Belum terselesaikannya negosiasi Artikel 6 memukul harga pasar karbon, yang sesungguhnya bisa mendorong investasi dan inovasi global untuk pengembangan energi bersih,” papar Luhut.
Luhut juga mengungkapkan, Indonesia tidak tinggal diam dengan belum selesainya negosiasi Artikel 6. Indonesia kini mengembangkan instrumen niIai ekonomi karbon (carbon pricing) domestik yang bisa mendukung pencapaian NDC dan pembangunan rendah karbon. Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden yang mengatur kerangka kerja implementasi NDC dan pengembangan pasar karbon domestik.
Senada dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pentingnya pendanaan untuk mencapai komitmen iklim, sehingga diperlukan mekanisme pasar yang jelas dalam pemanfaatan karbon.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif memaparkan peta jalan dari sektor energi untuk mencapai Net Zero Emission. Peta jalan tersebut menyiapkan peralihan penggunaan energi berbasis fosil menjadi penggunaan energi baru terbarukan.
“Pada tahun 2050 mendatang sebanyak 95% energi terbarukan yang dimanfaatkan bersumber dari tenaga sinar matahari, tenaga air, dan bioenergi,” kata Arifin.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, pada kesempatan berbeda, menyatakan pihaknya mendorong pembiayaan berkelanjutan untuk mencapai target pembangunan rendah karbon.
OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) dan Tahap II (2021-2025) sebagai panduan untuk mempercepat penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola di Indonesia yang berfokus pada penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif.
“Caranya dengan melibatkan seluruh pihak terkait dan mendorong pengembangan kerja sama dengan pihak lain,” katanya.
Sektor FOLU dan Energi merupakan penyumbang terbesar emisi GRK di Indonesia, dengan total kontribusi lebih dari 90%. Indonesia FoLU Net Sink menyangkut kebakaran hutan, pengelolaan lahan gambut, moratorium permanen izin baru di hutan primer dan lahan gambut, konservasi lahan, program netralisasi degradasi lahan, partisipasi masyarakat dan penegakan hukum.
Untuk mencapai target penurunan emisi GRK, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong menyampaikan tentang pentingnya dukungan seluruh pemangku kepentingan, termasuk BUMN dan pihak swasta.
“Indonesia telah belajar untuk mengembangkan strategi dan pengaturan kelembagaan untuk mengurangi emisi dari kehutanan dan penggunaan lahan melalui pengalaman panjang, baik di masa sulit maupun menyenangkan, bekerja sama dengan pemangku kepentingan yang lebih luas dan mendapatkan dukungan keahlian dan bantuan teknis dari masyarakat internasional,” katanya. (Jekson Simanjuntak)