BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM – Perempuan Adat dalam pengelolaan sumberdaya alam belum hadir bahkan cenderung diabaikan terkait proses pembangunan, baik di komunitas adatnya maupun dalam kegiatan publik yang lebih luas.
Suara Perempuan Adat yang mengemukakan kepentingan atas pengelolaan sumberdaya alamnya kerap dianggap tidak penting dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu diungkap Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN dalam Diskusi Webinar bertemakan “Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”, yang digelar pada 2 Juli 2020.
PEREMPUAN AMAN menilai konflik Sumber Daya Alam yang berlangsung di berbagai wilayah Masyarakat Adat, tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan tetapi berdampak pada penyingkiran identitas diri perempuan adat, tidak diakuinya pengetahuan dan ketrampilan perempuan adat berbasis sumber daya alam, tingginya tingkat diskriminasi, hingga menjadi korban kekerasan ekonomi.
Tak hanya itu, Devi juga mencatat terjadinya perampasan tanah pertanian dan hilangnya mata pencaharian perempuan adat. Bahkan pengangguran dan kekerasan domestik kerap ditemui.
“Seperti yang terjadi pada Perempuan Adat Negeri Tananahu di Pulau Seram, Maluku Tengah yang terpaksa masuk ke hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan mereka harus mengambil kelapa dan kakao milik PTPN, setelah tanah mereka menjadi konsesi PT Perkebunan Nasional (PTPN). Aparat keamanan perusahaan kerap mengejar dan menjebloskan mereka ke penjara dan perempuan adat yang tertangkap menjadi korban pelecehan seksual bahkan perkosaan,” tutur Devi.
Kisah kelam Perempuan Adat Negeri Tananahu merupakan potret penyingkiran perempuan adat dan hilangnya wilayah kelola perempuan adat saat mempraktekkan dan mengembangkan pengetahuannya berbasis Sumber Daya Alam.
Walaupun konsesi PTPN telah berakhir di Negeri Tananahu, namun perempuan adat masih harus berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya. Menurut Devi, hak masyarakat adat atas wilayahnya masih mendapat rintangan dengan rumitnya persyaratan.
Salah satunya pengakuan keberadaan Masyarakat Adat yang harus tertuang dalam produk hukum daerah. Artinya secara hukum, masyarakat adat dianggap illegal di dalam wilayahnya sendiri, sementara peluang pihak luar untuk menguasai wilayah adat semakin terbuka.
Kriminalisasi dan stigma negatif pun kerap diterima oleh Perempuan Adat ketika mereka mempraktikkan pengetahuannya membuka ladang dengan membakar lahan. Kearifan lokal itu dianggap sebagai sumber dari kebakaran hutan.
“Kajian PEREMPUAN AMAN pada 2019 menyebutkan bahwa lebih dari 64,5 % responden menyatakan bahwa praktik perladangan dengan membakar dilarang oleh pemerintah. Padahal, praktik peladang tradisional telah dilindungi oleh UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun berbeda dalam kenyataannya,” ujar Devi.
Oleh karena itu, RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi penting untuk memastikan hak perempuan adat dilindungi. “Terutama menghapuskan kekerasan struktural, kekerasan fisik dan non fisik,” tambah Devi.
Niliani, perempuan adat Dayak Ma’anyan sekaligus Pengurus Harian Daerah PEREMPUAN AMAN Barito Timur, menyayangkan pelarangan pembakaran lahan untuk membuka ladang. Pasalnya, tradisi tersebut telah ada secara turun-temurun dan dilakukan dengan perhitungan yang matang, sehingga rambatan api dapat dihindari.
Niliani beserta kawan-kawan PHD Barito Timur terus mengabadikan pengetahuan-pengetahuan adat tentang ketahanan pangan melalui permainan tradisional dan dongeng, untuk kemudian diteruskan kepada generasi penerus.
“Pelestarian pengetahuan adat merupakan salah satu upaya untuk menjaga sumber daya alam yang ada,” katanya.
Mardha Tillah, Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI) menyampaikan bahwa pengakuan hak perempuan adat atas penghidupan yang layak, pengetahuan dan budaya berbasis sumber daya alam merupakan langkah penting untuk memperkuat masyarakat adat.
Pengakuan terhadap masyarakat adat dengan segala kearifan lokalnya tanpa memberi ruang partisipasi bagi perempuan adat dalam menentukan kehidupan mereka dan komunitasnya, hanya akan menghasilkan kesetaraan yang semu dan tidak berkelanjutan.
“Merupakan praktik yang wajar bahwa setiap pihak yang berkontribusi dalam perkembangan masyarakatnya mendapat ruang untuk ikut mengambil keputusan akan dirinya dan masyarakatnya,” ujar Mardha Tillah.
Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan tentang penghancuran kebudayaan dan pemiskinan perempuan akibat ketiadaan sumber daya yang memadai. Komodifikasi sumber daya alam juga menyebabkan kematian sistem lokal dan keanekaan sistem kehidupan lokal.
Hal ini mengakibatkan masyarakat tergantung kepada perusahaan besar dan selanjutnya bergantung kepada bisnis global. “Pencerabutan sumber-sumber kehidupan merupakan tindakan kejahatan, yang dampaknya paling terasa pada kelompok-kelompok yang dimarjinalkan, salah satunya perempuan adat,” papar Dewi.
Mia Siscawati, Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN, menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis perempuan adat atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, perempuan desa, perempuan adat, dan sebagai warga negara.
Pun tak kalah pentingnya, Mia menyerukan keterlibatan perempuan adat sebagai subyek dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan secara sungguh-sungguh.
“Karena itu peran perempuan adat yang esensial membutuhkan sokongan kuat agar tetap mampu merebut kembali ruang-ruang penghidupan mereka”, pangkasnya. (Jekson Simanjuntak)