TOBA, BERITALINGKUNGAN.COM – Aliansi Gerak Tutup TPL yang terdiri dari gabungan sejumlah organisasi masyarakat seperti KSPPM, AMAN Tano Batak dan Jikalahari melakukan investigasi terhadap dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh operasional PT Toba Pulp Lestari (PT TPL).
Aliansi melakukan investigasi di sektor Tele, Habinsaran, Padang Sidempuan dan Aek Raja dan difokuskan pada areal kerja atau konsesi PT TPL illegal. Investigasi yang dilakukan sejak 2 hingga 16 Juni 2021 itu menemukan fakta bahwa operasional PT TPL dilakukan secara illegal, melanggar peraturan perundang-undangan, merusak lingkungan hidup dan merampas hutan tanah adat masyarakat adat.
“Kami mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menutup operasional PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di tanah Batak,” kata Roki Pasaribu, perwakilan KSPPM.
Sementara itu, perwakilan AMAN Tano Batak Roganda menilai, kehadiran PT TPL telah menyebabkan konflik dan maraknya aksi kekerasan terhadap masyarakat. Penghancuran hutan alam menjadi hutan eukaliptus juga berdampak pada kerusakan lingkungan.
Salah satunya dialami oleh masyarakat Huta (kampung) Napa, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Operasional PT TPL telah menyebabkan debit “Aek Nalas” yang digunakan masyarakat sebagai sumber air minum menjadi berkurang. “Bahkan airnya sering berlumpur dan kuning,” katanya.
Hal serupa dialami Huta Natinggir, Nagasaribu, dan Natumingka, dimana penebangan hutan alam oleh PT TPL mengakibatkan masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. “Juga berdampak terhadap irigasi persawahan, sehingga sawah sekarang berubah fungsi,” ujarnya.
Bukan hanya terhadap lingkungan, ekonomi masyarakat adat juga terimbas. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah.
“Sekarang sumber mata pencaharian masyarakat adat di wilayah konsesi juga berkurang. Masyarakat adat menjadi miskin karena hutan alam telah dirusak oleh PT TPL,” kata Roganda.
Made Ali dari Jikalahari mengatakan PT TPL telah bekerja secara tidak sah (illegal), karena beroperasi di atas kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung, Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
Pemberian izin PT TPL yang merujuk pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) telah dijalankan dengan proses ketidakpatuhan terhadap amanat pengukuhan kawasan hutan, karena tidak melibatkan masyarakat adat di seputaran Danau Toba.
“Hal itu bertentangan dengan peraturan Kehutanan dan Agraria di mana PT TPL telah melakukan perbuatan melawan hukum yang berakibat pada tindakan pidana dan pencabutan perizinan berusaha,” kata Ali.
Akibat kegiatan illegal tersebut, Ali menilai telah terjadi konflik, kekerasan terhadap masyarakat adat, kerusakan lingkungan hidup dan terganggunya kesejahteraan masyarakat setempat.
“Ekonomi masyarakat hancur, potensi ledakan konflik horizontal, hingga pembiayaan yang tidak layak telah diberikan pada PT TPL,” ungkap Made Ali.
Karena itu, temuan investigasi KSPPM, AMAN Tano Batak dan Jikalahari, menurut Ali menjadi fakta kuat agar pemerintah segera mengevaluasi izin konsesi PT TPL. Ali juga meminta agar pengukuhan kawasan hutan melibatkan masyarakat adat sehingga tidak timbul konflik dikemudian hari.
Sejak berdiri, Aliansi Gerak Tutup TPL mencatat telah terjadi konflik sosial, intimidasi hingga aksi kekerasan yang dilakukan PT TPL terhadap masyarakat adat. Buktinya, sepanjang 2020-2021 terdapat setidaknya 8 konflik yang menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 12 orang, dan 9 warga telah dilaporkan ke kepolisian. Selain itu, PT TPL telah mengintimidasi 3 komunitas huta (kampung) agar tidak bercocok tanam di atas wilayah adatnya. (Jekson Simanjuntak)