BATANG, BL- Ribuan warga Batang Provinsi Jawa Tengah yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi, hari ini melakukan aksi di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Aksi tersebut dilakukan bersamaan dengan pengajuan gugatan ke PTUN terhadap Keputusan Bupati Batang No. 523/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban. Dalam aksi ini, warga Batang mendesak agar Bupati Batang mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan warganya diatas kepentingan investor PLTU Batubara.
Dalam aksinya, warga Batang yang didukung oleh aktivis dari LBH Semarang dan Greenpeace Indonesia kembali menegaskan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan PLTU Batubara di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang.
Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Batang, telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional Lampiran VIII Nomor Urut 313, dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029.
Keputusan Bupati Batang No.532/194/2012 tentang Pencadangan Kawasan Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban untuk lokasi pembangunan PLTU Batubara, jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 Tentang RTRWN, dan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029.
“Selain itu, keputusan tersebut juga sangat bertentangan dengan aspirasi sebagian besar Warga Batang yang menolak keras rencana pembangunan PLTU Batubara di desa mereka. Oleh karena itu hari ini kami bersama Warga Batang datang ke PTUN Semarang untuk menggugat Keputusan Bupati tersebut,” kata Slamet Haryanto, Direktur LBH Semarang melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Pemerintah berencana membangun PLTU Batubara, yang diklaim akan menjadi PLTU yang terbesar di kawasan Asia Tenggara di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.
Rencananya PLTU Batubara akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban ini berkapasitas 2 X 1000 MW. Konsorsium PT.Bhimasena Power Indonesia yang beranggotakan PT. Adaro Power, J-Power, dan Itochu merupakan pihak yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai perusahaan yang akan membangun PLTU tersebut.
“Sejak awal rencana pembangunan PLTU Batang di desa kami, kami sudah menyatakan penolakan keras terhadap proyek ini. Kami kuatir proyek ini akan merenggut mata pencaharian kami, baik yang bekerja sebagai petani maupun nelayan,”kata Salim dari Paguyuban Rakyat Batang Berjuang Untuk Konservasi.
“Kami tidak mau bernasib sama seperti masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Cilacap, dan PLTU lainnya. Mereka terpaksa harus hidup di bawah ancaman penyakit akibat polusi PLTU Batubara, dan risiko kehilangan mata pencaharian kami turun-temurun sebagai petani dan nelayan, karena lahan hidup kami dirampas dan dirusak oleh proyek PLTU,”tambahnya.
Batubara adalah bahan bakar terkotor di planet ini, selain sebagai penyumbang utama gas rumah kaca, pembakaran batubara juga menyebabkan dampak kesehatan yang luar biasa akibat polutan yang dihasilkan seperti Sox, Nox, Mercury, dan PM2.5.
Di India, korban yang tewas akibat polusi batubara diperkirakan mencapai 85.000 setiap tahunnya. Sementara di Amerika Serikat, meskipun banyak PLTU Batubara mengklaim menggunakan teknologi lebih bersih, namun pada kenyataannya sekitar 13.000 orang tewas akibat terpapar polutan yang dilepaskan PLTU Batubara.
“Rencana pemerintah untuk membangun PLTU Batubara terbesar di Asia Tenggara, menunjukkan keengganan pemerintah untuk menghentikan ketergantungan mereka yang sangat tinggi terhadap bahan bakar fosil kata Arif Fiyanto, Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia.
Menurut Arif, rencana tersebut bertentangan dengan komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020.
Pengalihgunaan Kawasan Konservasi Laut Daerah menjadi lokasi pembangunan PLTU Batubara jelas melanggar perundang-undangan, dan mengancam nasib ribuan masyarakat Batang yang menggantungkan penghidupan mereka dari kawasan kaya ikan tersebut.
“Pemberian ijin pembangunan PLTU Batubara di kawasan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip “Blue Economy” yang diusung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, karena keberadaan PLTU Batubara di kawasan ini jelas akan merusak ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat setempat,” pungkasnya. (Marwan Azis).