JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Aktivis lingkungan dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa mendesak pemerintah agar memperpanjang Instruksi Presiden No.8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit yang akan segera berakhir.
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan tata kelola perizinan sawit di Indonesia belum selesai. Sedikitnya terdapat 11, 9 juta ha izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin. Angka itu merupakan data yang dikumpulkan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan di akhir 2020.
“Dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya,” katanya.
Permasalahan ini hanya bisa dijawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan. “Baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” jelasnya.
CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar menyatakan hal serupa. Menurutnya, evaluasi izin perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Ia mengakui, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan seperti di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya.
“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara,” katanya.
Berkaca dari kasus di Papua Barat, menurut Bustar, dari 650.000 ha izin sawit yang diberikan pemerintah, ternyata hanya 52.000 ha yang benar-benar ditanami pohon sawit.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Nadia Hadad menyoroti soal tata kelola produkivitas sawit yang belum maksimal. Ini terbukti ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2017 menemukan bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) telah menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sebesar Rp11 triliun di tahun 2016.
“Dari dana itu, sebanyak 81,8% dialokasikan untuk subsidi biodiesel, di mana yang mendapat porsi subsidi paling besar adalah pengusaha,” ungkap Nadia.
Padahal, dana perkebunan sawit seharusnya digunakan untuk program-program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit. Misalnya peremajaan kebun sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, hingga peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit.
“Saat ini, dana lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel dan justru tidak banyak menyentuh petani,” katanya.
Karena itu, Nadia menegaskan bahwa moratorium perlu diperpanjang sehingga persoalan produktivitas menjadi lebih maksimal, dan pembagian hasil perimbangan antara pusat dan daerah menjadi lebih baik dan tertata rapi.
“Pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Studi yang kami lakukan menemukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan petani,” terangnya.
Selain itu, menurut Nadia, perlu adanya perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga lebih adil dan tidak hanya menguntungkan pengusaha.
Di sisi lain, terbitnya PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan juga PP No.24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, ditengarai tidak menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia.
Menurut Teguh, kehadiran PP tersebut tidak memberi landasan untuk sektor sawit yang lebih baik. “Peraturan Pemerintah Turunan dari PP No. 23 dan PP No. 24 UUCK tidak tegas mengatur bahwa sawit tidak boleh ekpansi di kawasan hutan. Malah sebaliknya memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dijadikan lahan sawit,” jelasnya.
Padahal pasal 29 UUCK di bagian perubahan Undang-undang Perkebunan secara jelas menyebutkan bahwa perusahaan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah.
“Ini artinya, pemilik izin perkebunan harus mengusahakan seratus persen agar lahan sawit dapat ditanami dalam tempo paling lama dua tahun. Namun kita tahu, masih cukup luas keberadaan hutan alam di dalam izin sawit yang harus diselamatkan untuk mencegah bencana dan memenuhi komitmen iklim,” katanya.
Saat ini, terdapat 1,4 juta hektar hutan alam yang memiliki nilai konservasi tinggi di dalam izin perkebunan sawit. “Belum lagi masalah izin dan konflik lahan dengan masyarakat yang tak kunjung selesai, justru muncul peraturan baru seperti ini” papar Teguh.
Karena itu, Teguh menilai hadirnya PP sebagai peraturan yang melompat dari alur proses yang sudah dibuat sebelumnya, dan justru mendorong percepatan pembukaan lahan sawit di kawasan hutan.
“Peraturan itu menjadi kontradiktif dari perbaikan tata kelola yang sedang dilakukan, sehingga kebijakan moratorium sawit tetap diperlukan untuk menyelesaikan tata kelola lahan,” imbuhnya.
Tak hanya itu, moratorium seharusnya memperkuat komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim. Sebelumnya, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17.2% hingga 24,5% pada 2030 mendatang.
“Dengan komitmen iklim, seharusnya memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Ini diperlukan agar ambisi mencapai net zero karbon di sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030 dan agenda “Indonesia FOLU 2030” bisa dicapai,” ungkap Teguh.
Teguh menambahkan, dengan adanya moratorium, sawit Indonesia akan memiliki nilai tambah, yakni produk sawit berkelanjutan di pasar global dan ekspansi perkebunan sawit ke kawasan hutan dapat ditahan. Ini penting untuk membantu menurunkan laju deforestasi secara signifikan.
“Karena ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi,” terangnya.
Cabut Izin Lokasi
Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat, baru saja mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada 4 perkebunan sawit besar, yakni PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT. Cipta Papua Plantation.
Perizinannya dicabut karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP). Pencabutan izin sesuai hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dipimpin langsung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat yang didukung KPK.
Belakangan, tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya, yakni: PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) menggugat keputusan Pemkab Sorong dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.
Bupati Sorong Johny Kamuru, beberapa waktu lalu mengatakan pencabutan izin dilakukan berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh pemerintah provinsi Papua Barat bersama beberapa kabupaten dan KPK.
“Kami melihat bahwa lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke Masyarakat Adat atau pemilik hak ulayat. Dengan demikian, lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” katanya.
Bupati Johny menambahkan, kebijakan moratorium sawit merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi terhadap perusahaan sawit. Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari juga menjadi dorongan terhadap pentingnya evaluasi.
“Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” papar Bupati Sorong.
Seharusnya, langkah nyata Bupati Sorong memperkuat argumentasi bahwa Instruksi Presiden No.8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit harus diperpanjang demi lingkungan yang lebih baik. (Jekson Simanjuntak)