![]() |
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Aktivis Greenpeace hari ini melakukan aksi damai di kantor Adaro di Jakarta dengan menempelkan poster yang menggambarkan kondisi wilayah Batang terkini.
Para aktivis juga membentangkan banner yang bertuliskan “Adaro, Kembalikan Sawah Kami.”
“Kami ingin Adaro mengembalikan lahan warga yang dipagari agar warga dapat kembali mengakses dan mengolah lahan mereka,” kata Hindun Mulaika, Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Menurut Hindun, rencana pembangunan PLTU Batubara Batang harus dihentikan demi kesejahteraan dan penghidupan masyarakat.
Proyek PLTU Batubara Batang telah gagal memenuhi tenggat waktu sebanyak empat kali pada yaitu berturut-turut 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013, 6 Oktober 2014, and 6 Oktober 2015.
Rencana pembangunan PLTU ini telah tertunda selama empat tahun akibat penolakan yang kuat dan konsisten dari warga yang tinggal di sekitar area yang diusulkan untuk pembangunan PLTU Batubara.
Hingga saat ini, para pemilik lahan masih menolak untuk menjual lahan mereka. Sebanyak 10% dari 226 hektar yang dibutuhkan proyek masih tersandung proses pembebasan lahan.
Dalam rilis Greenpeace diungkapkan, Adaro memegang saham terbesar atau sebanyak 34% dari PT Bhimasena Power Indonesia, perusahaan konsorsium dalam proyek ini. Mereka telah empat kali gagal dalam memenuhi tenggat waktu pencairan dana karena proses pembebasan lahan yang belum tuntas.
Hari ini, warga Batang juga tengah menunggu putusan akhir sidang Mahkamah Agung atas gugatan warga terhadap surat keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Undang-undang yang digunakan untuk pembebasan lahan.
Area yang diusulkan untuk PLTU Batubara Batang adalah wilayah pertanian produktif untuk petani dan wilayah kaya tangkap ikan bagi nelayan. Warga Batang cemas jika PLTU Batubara dibangun akan mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka.
“Kami ingin Adaro dan PT BPI bertanggung jawab untuk membebaskan lahan kami.” Kami ingin masuk ke lahan kami dengan bebas seperti sebelum mereka datang ke wilayah kami.” Sawah kami untuk hidup, bukan untuk PLTU Batubara Batang,” kata Cayadi, warga Karanggeneng, anggota UKPWR yang menolak menjual lahannya. (Wan)
–>