NUSA DUA, BERITALINGKUNGAN.COM — Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi menjelaskan bahwa G20 telah sepakat akan tiga hal, yaitu energy access, technology and financing, sebagai bagian penting dari pembahasan G20 nantinya.
Hal ini disampaikan Yudo saat menghadiri parallel event yang digagas Environment, Climate and Energy Transition Working Group pada C20 Summit di Bali (6/10).
“Teknologi dan finance menjadi sangat penting untuk mendukung terwujudnya skenario Net Zero Emission (NZE). Setidaknya dengan mengandalkan tekonologi yang sekarang masih terus dikembangkan, seperti Hidrogen dan Carbon Capture yang merupakan bagian dari bentuk penyimpanan energi,” ungkap Yudo yang juga Chair Energy Working Trasition Group (ETWF).
Khusus terkait dengan pembiayaan, Indonesia membutuhkan pembiayaan yang hijau dan ramah lingkungan. Hal itu dibutuhkan untuk mendukung transisi energi di semua sektor.
Selain itu, Yudo memaparkan bahwa Indonesia ingin mencapai agenda dari Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030, utamanya nomor 7 tentang energi bersih yang terjangkau. Ia ingin memastikan terwujudnya akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua.
Hal lainnya terkait dengan Kesepakatan Paris di COP ke-21 pada 2015 untuk menahan peningkatan suhu Bumi pada abad ini tetap di bawah 2 derajat celcius dari jaman pra-industri.
“Artinya kita harus mengupayakan untuk membatasi peningkatan suhu Bumi di bawah 1.5 derajat celcius dari jaman pra-industri,” jelasnya.
Sementara terkait kondisi terkini, khususnya kebijakan nasional, pemerintah menganggap isu transisi energi begitu krusial untuk dibahas secara khusus di forum G20. Karena Indonesia menyadari upaya masing-masing negara anggota G20 sedang mengarah kesana, ketika mereka sudah declare Net Zero Emission.
“Sehingga inilah pertemuan pertama di saat semua orang sudah punya rencana. Makanya kita harus punya new set of principal yang bisa dorong kita semua menuju Net Zero Emission (NZE),” ungkap Yudo.
Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa Energy Working Trasition Group (ETWG) kedua yang baru saja selesai dihelat di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 23-24 Juni 2022. ETWG telah merumuskan berbagai draf kesepakatan sektor energi yang nantinya akan disepakati negara anggota G20.
Indonesia sebagai presidensi G20 menjadi leader dalam grup ini dan setelah dua kali pertemuan akhirnya menyepakati Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (Bali COMPACT).
“Ini adalah pertama kalinya ETWG menekankan pada transisi energi melalui pembiayaan yang berkelanjutan sebagai pilar utama dari diskusi.” ujarnya.
Bali COMPACT
Forum Energi G20 Presidensi Indonesia berhasil merumuskan Bali COMPACT dengan kesepakatan akan tiga hal, yaitu; energy access, technology and financing sebagai pilar dari presidensi G20.
“Bali COMPACT merupakan kesepakatan awal sebelum maju ke konsensus bersama terkait energi transisi yang akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada KTT G20 di Bali pada 16-17 November mendatang,” katanya.
Bali COMPACT yang menerapkan prinsip voluntarisme diharapkan mampu mewujudkan energi bersih, berkelanjutan dan terjangkau. Termasuk inklusi transisi energi yang akan menjadi referensi bagi semua anggota G20 dalam mengakselerasi transisi energi.
“Pada pinsipnya adalah kritikan untuk menghasilkan aksi nyata. Seperti kita ketahui seluruh anggota G20, telah menandatangani Net Zero Emissions (NZE) berdasarkan kebutuhan negara masing-masing,” ungkapnya.
Kendati demikian, sejumlah negara masih terus berjuang untuk menghasilkan peta jalan terkait transisi energi. Sementara negara-negara maju, seperti Austaralia dan Inggris telah memiliki kebijakan khusus tentang peta jalan transisi energi.
“Oleh karena itu kita butuh principles yang mendorong untuk implementasi transisi energi,” jelasnya.
Bali COMPACT juga melakukan rekognisi terhadap tensi energi yang dibutuhkan untuk memperkuat kebijakan nasional dengan upaya maksimalisasi sosial ekonomi dan keuntungan lingkungan yang dibisa didapat, melalui perencanaan yang matang.
Hal lainnya, menurut Yudo, penting untuk menghadirkan ketahanan energi dengan menjaga stabilitas dan keterjangkauan pasar saat melakukan investasi yang inklusi di sektor energi. Tak hanya itu, ketahanan, keberlanjutan dan ketersediaan suplai energi, termasuk infrastruktur dan sistemnya dibutuhkan untuk memastikan kesejahteraan ekonomi sebagai respons terhadap perubahan iklim.
Dengan begitu, dokumen Bali COMPACT merupakan prinsip-prinsip dasar dalam mempercepat transisi energi yang akan menjadi pondasi dan acuan bagi negara anggota G20 dalam melakukan percepatan transisi energi.
“Prinsip tersebut juga diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang dari Net Zero Emission (NZE),” terangnya.
Bali Energy Transitions Roadmap
Selain menghasilkan Bali COMPACT, Indonesia juga mengajukan Bali Energy Transitions Roadmap sebagai inisiatif untuk memberikan kontinuitas pada agenda global untuk memperkuat kerja sama internasional dan arsitektur energi.
Peta jalan itu memberikan kerangka kerja untuk mempercepat transisi energi melalui tiga prioritas utama, yakni pengamanan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi energi pintar dan bersih, serta memajukan pembiayaan energi bersih.
“Roadmap Presidensi ini menetapkan aksi multi-years sukarela untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dan meletakkan jalur menuju Net Zero Emission (NZE) atau Karbon Netral sesuai dengan kondisi nasional,” katanya.
Peta jalan itu memberikan kerangka kerja untuk mempercepat transisi energi melalui tiga prioritas utama, yakni pengamanan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi energi pintar dan bersih, serta memajukan pembiayaan energi bersih.
“Tindakan-tindakan yang dilakukan pada ketiga prioritas ini merupakan dasar untuk bekerja menuju rencana aksi G20 yang lebih luas, untuk mempercepat transisi energi yang bersih, berkelanjutan, adil, terjangkau, dan dapat dipertimbangkan sebagai program kerja Presidensi G20 berikutnya,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)