
Potret banjir yang merendam pemukiman warga di Lampung.
LAMPUNG, BERITALINGKUNGAN.COM – Fajar belum menyingsing saat air mulai merambat ke lantai rumah-rumah di Bandar Lampung. Senin dini hari, pukul 03.30 WIB, kota itu terbangun bukan oleh kokok ayam, melainkan oleh gemuruh air yang menelan jalanan dan pekarangan.
Dalam hitungan jam, ribuan keluarga terdampak, tiga nyawa melayang, dan Bandar Lampung kembali diingatkan: bahwa air bisa menjadi sahabat sekaligus ancaman.
Sebanyak 2.371 kepala keluarga (KK) terdampak banjir dengan ketinggian air mencapai 150 sentimeter di beberapa titik. Dalam situasi darurat ini, koordinasi cepat antara BPBD Kota Bandar Lampung dan pemerintah provinsi menjadi penyelamat di tengah kepanikan. Salah satu langkah kunci yang dilakukan adalah pengiriman mobil dapur umum lapangan, memastikan perut warga tetap terisi meski rumah mereka basah dan jalanan tak lagi bisa dilalui.
“Kami memastikan kebutuhan pangan warga tetap terpenuhi, terutama bagi mereka yang harus mengungsi atau terisolasi,” ujar Abdul Muhari, Ph.D., Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB (23/04/2025).
Jejak Air di Bumi Sai Bumi Ruwa Jurai
Banjir kali ini tak hanya menggenangi Bandar Lampung. Seperti air yang tak mengenal batas administratif, luapannya merambah Kabupaten Pesawaran, Pringsewu, Tanggamus, hingga Lampung Selatan.
Di Pesawaran, air menyapu tiga kecamatan dan 12 desa, merusak dua tanggul, satu jembatan, dan menenggelamkan jalanan.
Di Pringsewu, empat desa terendam hingga setengah meter, sementara di Tanggamus, banjir memaksa warga mengungsi dan menyebabkan kerusakan rumah secara luas.
Bahkan di Pugung, 74 rumah terendam dan tiga rusak berat. Setiap desa menyimpan kisahnya sendiri—tentang kehilangan, bertahan, dan harapan.
Lebih dari Sekadar Angka
Tiga nama yang hilang dalam derasnya air—Piyan (15), Diding (45), dan Kunawati (59)—adalah pengingat bahwa bencana bukan hanya tentang statistik.
Mereka adalah anak, ayah, dan ibu—yang pagi itu tak pernah mengira bahwa jalan di depan rumah akan menjadi sungai, dan arusnya membawa mereka pergi.
Bangkit dari Lumpur
Kondisi terkini di hari Selasa (22/4) siang menunjukkan sinar pemulihan. Air mulai surut. Warga kembali ke rumah, menyingsingkan lengan, menyapu lumpur, mengangkat perabot, dan memulihkan hidup.
BPBD dan petugas pemadam kebakaran (Damkar) turut serta dalam pembersihan, menjadikan solidaritas sebagai benteng terakhir dari reruntuhan bencana.
Pesan dari Air
Setiap banjir mengisahkan hal yang sama namun berbeda: perubahan iklim, kerentanan infrastruktur, dan perlunya kesiapsiagaan komunitas. Di tengah ketidakpastian cuaca, langkah kecil seperti sistem peringatan dini, edukasi kebencanaan, dan ketahanan pangan lokal menjadi semakin penting.
Karena di Indonesia, di mana sungai bisa jadi halaman rumah, dan air adalah bagian dari kehidupan, masyarakat harus belajar hidup dengannya—bukan melawannya (Marwan Aziz)