
Potret band Sukatani diambil dari Instagram pada Jumat (21/2/2025). Band Sukatani sering bagi-bagi sayuran ketika manggung. Fot
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Di tengah geliat skena musik punk Indonesia, muncul nama yang mulai menggema, mereka menamakan diri “Sukatani” yang artinya suka bertani.
Duo asal Purbalingga, Jawa Tengah, ini bukan sekadar band punk biasa. Dengan aksi panggung yang unik dan penuh makna sosial, mereka membuktikan bahwa musik bisa menjadi medium perlawanan sekaligus kepedulian terhadap isu agraria dan pertanian.
Musik Punk dengan Jiwa Sosial
Sukatani, meski tergolong baru di kancah musik Indonesia, telah berhasil membangun identitas yang kuat. Tidak hanya menawarkan musik enerjik, mereka juga menyisipkan pesan sosial yang dalam melalui aksi panggung mereka.
Salah satu ciri khas unik Sukatani adalah membagikan hasil bumi seperti sayuran kepada penonton. Ini bukan sekadar gimmick, melainkan bentuk dukungan terhadap petani lokal dan kritik terhadap sistem agraria yang dianggap tidak adil.
“Kami ingin mengingatkan bahwa petani adalah tulang punggung bangsa. Jika kita menikmati makanan setiap hari, itu berkat mereka,” ujar Muhammad Syifa Al Lutfi alias Alectroguy (gitaris) dan Novi Citra Indriyanti alias Twister Angel (vokalis), dua personel di balik Sukatani.
Keduanya telah lama berkecimpung dalam isu pertanian, bahkan sebelum membentuk band ini pada 2017 di bawah kolektif petani muda Harvestmind.
Mengusung Anarcho-Punk dengan Nuansa Post-Punk
Musik yang mereka usung menggabungkan anarcho-punk dengan sentuhan post-punk dan new wave, menciptakan nuansa yang khas. Lirik-lirik mereka banyak membahas kehidupan petani, buruh, dan ketimpangan sosial.
Album debut mereka, “Gelap Gempita”, yang dirilis pada Juli 2023, menjadi wadah bagi keresahan mereka terhadap realitas yang terjadi di sekitar.
Namun, perjalanan mereka tidak selalu mulus. Salah satu lagu mereka, “Bayar Bayar Bayar”, sempat viral dan menuai kontroversi karena liriknya yang dianggap mengkritik oknum kepolisian. Akibatnya, Sukatani memutuskan untuk menarik lagu tersebut dari berbagai platform digital dan menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada Kapolri dan institusi Polri.
Identitas dan Simbol Perlawanan
Selain musik dan aksi panggung mereka, Sukatani juga dikenal dengan identitas visualnya. Sejak awal kemunculan, mereka selalu tampil dengan balaclava—topeng yang sering diasosiasikan dengan kelompok perlawanan.
Namun, balaclava yang mereka pakai ternyata bukan sekadar simbol politik, melainkan masker kerja yang umum digunakan oleh tukang bangunan di timur laut Thailand. Bagi Sukatani, ini adalah bentuk solidaritas terhadap kaum pekerja dan petani yang kerap dipinggirkan.
Kontroversi yang mereka alami tidak membuat mereka berhenti. Sebaliknya, Sukatani semakin mantap dengan jalannya. Setelah insiden “Bayar Bayar Bayar”, mereka merilis video klarifikasi tanpa mengenakan balaclava untuk pertama kalinya. Ini menjadi momen langka di mana publik bisa melihat wajah asli mereka.
Musik, Perlawanan, dan Kesadaran Sosial
Sukatani tidak sekadar bernyanyi, tetapi juga mengajak para pendengarnya untuk berpikir dan bertindak. Dengan aksi membagikan sayuran saat konser, mereka ingin menanamkan kepedulian terhadap petani dan pentingnya sistem agraria yang lebih adil.
Kehadiran mereka di industri musik Indonesia membawa warna baru. Dengan musik yang berani, aksi panggung yang autentik, dan pesan sosial yang kuat, Sukatani berhasil mencuri perhatian publik. Mereka adalah bukti bahwa musik punk masih hidup dan terus menjadi wadah bagi suara-suara yang ingin melawan ketidakadilan.
Sukatani bukan sekadar duo punk dari Purbalingga. Mereka adalah simbol bahwa musik bisa menjadi alat perlawanan yang nyata—dengan amplifikasi suara dan, tentu saja, sekantong sayuran.
saya senang dg sukatani. ini jujur. Sukatani itu genuine.
keberanian.
saya sendiri terus terang gak berani.
tapi ternyata Sukatani berani sudah lama. lihat skripsinya.
lanjutttttt. saya menikmati