Potret pembuakaan areal hutan di Indonesia. Foto : Greenpeace.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk mengalihfungsikan 20 juta hektare hutan menjadi lahan pangan, energi, dan air memicu kekhawatiran besar. Langkah ini diprediksi memperburuk krisis iklim, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan mengancam keberlanjutan masyarakat adat yang hidup bergantung pada hutan.
Menurut Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, gagasan kedaulatan pangan dan energi justru akan menjadi retorika kosong jika langkah ini dilanjutkan. “Pembukaan hutan akan meningkatkan emisi karbon secara signifikan, memicu kebakaran hutan dan lahan gambut, serta mengakibatkan pemerintah gagal memenuhi komitmennya terhadap mitigasi krisis iklim dan perlindungan biodiversitas,” ujarnya melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (10/01/2025).
Krisis Lingkungan dan Komitmen Indonesia
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Indonesia memiliki janji untuk menghentikan kepunahan akibat aktivitas manusia pada 2030.
Selain itu, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43,2 persen dengan bantuan internasional dalam Nationally Determined Contribution (NDC) di bawah Perjanjian Iklim Paris. Namun, rencana pembukaan hutan ini dinilai bertentangan dengan target tersebut.
Laporan Global Carbon Project pada 2023 menunjukkan emisi karbon dioksida global mencapai tingkat tertinggi sepanjang sejarah, dengan Indonesia menjadi penyumbang emisi terbesar kedua di sektor lahan. Sementara itu, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa krisis iklim akan memicu kondisi ekstrem di Asia, termasuk kekeringan, gelombang panas, banjir, dan badai yang semakin parah.
Transparansi yang Dipertanyakan
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bahwa lokasi 20 juta hektare lahan tersebut telah diidentifikasi. Namun, detailnya tidak pernah diungkapkan ke publik, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa langkah ini akan memicu deforestasi besar-besaran di hutan alam.
“Pemerintah seharusnya menghentikan deforestasi secara total. Jika tidak, kita hanya tinggal menghitung waktu sebelum bencana iklim menghancurkan kehidupan kita,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Ironisnya, pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo juga menetapkan kuota deforestasi sebesar 10,43 juta hektare dalam Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030. Deforestasi ini setara dengan hampir seperempat luas Pulau Sumatera dan berpotensi melepas emisi karbon hingga 10,1 juta gigaton CO2.
Retorika Kedaulatan Pangan
Pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan perlunya perluasan lahan sawit dianggap sebagai ancaman nyata bagi nasib hutan Indonesia. “Pandangan ini menunjukkan Prabowo gagal memahami pentingnya perlindungan hutan dan regulasi bebas deforestasi yang diterapkan Uni Eropa (EUDR),” tambah Sekar.
Narasi kedaulatan pangan dan energi, yang sejatinya bertujuan memperkuat ketahanan nasional, justru menjadi dalih untuk membuka lahan sawit baru. Sebagai contoh, proyek food estate di Gunung Mas yang digarap Kementerian Pertahanan sebelumnya malah dialihfungsikan untuk kebun sawit, menggambarkan tata kelola yang jauh dari ideal.
“Komunitas adat, seperti masyarakat Awyu, kini harus berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi sawit. Ini adalah kabar buruk bagi mereka yang selama ini menjadi penjaga hutan,” ujar Sekar.
Krisis Iklim: Waktunya Bertindak
Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata, Indonesia menghadapi pilihan sulit: melanjutkan model pembangunan eksploitatif atau mengubah arah menuju keberlanjutan.
Hutan Indonesia adalah benteng terakhir untuk melindungi iklim global, biodiversitas, dan masyarakat yang bergantung padanya. Jika langkah-langkah destruktif terus berlanjut, masa depan yang kita wariskan pada generasi mendatang akan penuh bencana (Marwan Aziz).
hallo kk, ijin kutip tulisan kk, sama foto kk,
silakan dengan menyebut sumbernya ya.