JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Peran serta masyarakat dalam mendeteksi dini kegiatan yang bisa menyebabkan deforestasi, seperti pembukaan lahan melalui illegal logging, tidak diragukan lagi. Peran tersebut meliputi kegiatan patroli terpadu dan mandiri di hutan adat, hutan nagari dan hutan kemasyarakatan. Di wilayah tersebut, masyarakat memiliki kekuasaan hukum untuk mengelola lahannya.
Selama ini tidak banyak yang mengetahui jika kegiatan patroli terpadu tersebut telah didukung oleh sejumlah teknologi modern, sehingga pengawasan bisa dilakukan lebih efektif.
Berikut beberapa teknologi yang digunakan untuk pelestarian sumberdaya alam:
1. Teknologi AI untuk Deteksi Dini Penebangan Liar
Teknologi yang digunakan untuk membantu pencegahan kerusakan hutan, salah satunya melibatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Teknologi itu digunakan untuk menangkap ‘suara-suara’ terkait pengrusakan hutan, misalnya penebangan pohon secara liar (illegal logging) dan perburuan ilegal.
Teknologi itu akan memilah jenis suara, di antaranya suara kendaraan, suara penebangan, hingga suara tembakan. Kemudian datanya dikirimkan dalam bentuk notifikasi. Dengan kecerdasan penangkapan suara ini, penegak hukum bisa mendeteksi lebih tepat kegiatan para penebang liar.
Teknologi itu dinamakan ‘Guardian’, sebuah aplikasi teknologi digital yang diinisiasi oleh lembaga non-profit Komunitas Konservasi Indonesia Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) bekerjasama dengan National Committee of the Netherlands (IUCN), sebuah lembaga perserikatan dari Belanda yang bergerak di bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Koordinator Program KKI-Warsi Riche Rahma Dewita mengatakan, melalui bantuan IUCN, KKI Warsi berhasil dipertemukan dengan lembaga non profit asal Amerika Serikat, RFCX Rainforest Connection, yang kemudian mengembangkan alat analisa bioakustik tersebut.
“KKI Warsi menggunakan Guardian sejak tahun 2018. Alat ini membantu masyarakat di sekitar hutan nagari yang sudah melakukan praktik pengamanan dan perlindungan hutan sejak dahulu. Sejauh ini, terdapat 26 titik instalasi Guardian di area resmi pengawasan masyarakat seperti area hutan nagari Sumpur Kudus Sijunjung, Sumatera Barat,” kata Rahma.
Aplikasi Guardian bisa diunduh di smartphone untuk menangkap dan mentransmisikan suara yang muncul di hutan. Smartphone lalu dikombinasikan dengan papan sirkuit cetak atau logic board, kotak tahan cuaca, solar panel sebagai daya listrik, dan antena direksional. Mikrofon juga disertakan agar bisa menangkap suara hingga sejauh 1,5 km.
“Alat ini dipasang di puncak kanopi hutan atau dedaunan pohon-pohon tropis dengan ketinggian yang seringkali bisa mencapai 30 meter,” ujarnya. Data suara yang tertangkap itu lalu dikirimkan melalui streaming ke server cloud untuk dianalisa menggunakan model AI pendeteksi suara, khususnya suara alat tebang pohon, kendaraan, suara manusia, dan bahkan tembakan.
Koordinator Unit KKIWarsi Yudi Fernandes menjelaskan, secara teknis, alat itu sangat tergantung kepada jaringan seluler internet. Dengan demikian, hanya bisa dipasang di di ketinggian yang mampu menangkap jaringan seluler internet. “Suara yang ditangkap akan dihimpun dan bisa diakses menggunakan aplikasi RFCX Ranger yang bisa diunggah di Google Play Store,” ujarnya.
Ketika AI pendeteksi suara mengidentifikasi sebuah suara tertentu, maka tim KKI Warsi akan mengecek dan melakukan verifikasi. Jika terverifikasi sebagai kegiatan perusakan hutan, tim segera menghubungi Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) untuk melakukan patroli di tempat kejadian.
“Sebelum ada Guardian, kami memerlukan waktu setengah hari, sejak suara terdeteksi hingga verifikasi dan patroli. Sekarang, waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek, sehingga lebih efektif, sekaligus membuat jera para pelaku illegal logging,” ujar Yudi.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari Sumpur Kudus Syarifuddin mengakui, sejak dipakai di tahun 2018 sudah tidak ada lagi penebangan dalam skala besar.
Meskipun masih ada kasus penebangan kayu kecil (dua sampai tiga batang pohon), tapi kasusnya bisa diselesaikan secara adat. “Guardian sangat membantu petugas parimbo yang bertugas mengawasi sekitar 3.828 hektar hutan nagari Sumpur Kudus,” jelasnya.
2. Analisis Citra Satelit dan Drone untuk Pemantauan Tutupan Lahan
Alat lain yang digunakan untuk mengawasi hutan adalah teknologi pencitraan satelit yang dikembangkan berbagai lembaga antariksa. Citra satelit ini banyak yang dibuka aksesnya ke publik sehingga dapat dianalisa lebih jauh sesuai dengan kebutuhan pengguna. Analisis inilah yang dilakukan oleh Yayasan Auriga Nusantara, sebuah lembaga yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam Indonesia.
Dengan menganalisis beberapa jenis citra satelit sekaligus, seperti Landsat, Sentinel, SPOT, Yayasan Auriga Nusantara mendeteksi tutupan sawit nasional. Analisis yang dilakukan sejak 2019 itu menunjukkan bahwa tutupan sawit Indonesia berada di 247 kabupaten di 25 provinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku, dan Tanah Papua.
Dalam pendeteksian tutupan sawit tersebut Yayasan Auriga Nusantara bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga negara. Kerja sama ini mewujudkan peta tutupan sawit tahun 2014 – 2016 seluas 16,8 juta hektare yang telah dirilis bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Pertanian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2019.
“Yayasan Auriga Nusantara merupakan mitra kami sejak lama terkait penyediaan data pemetaan tutupan lahan sawit. Dengan data mereka, kami bisa membandingkan luas pemetaan sawit dengan izinnya. Selisih dari perhitungan ini bisa dikalkulasikan menjadi potensi pajak yang belum dibayar,” tutur Sulistyanto, kepala satuan tugas (kasatgas) pada Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, “Kami menggunakan pemetaan ini untuk memastikan bahwa program replanting kelapa sawit akan tepat sasaran”
Temuan tersebut berbeda dengan data estimasi tutupan lahan sawit yang setahun sebelumnya dirilis oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, yakni 14,32 juta hektare. Perbedaan itu menjadi pembuka dialog soal data tutupan sawit.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam kerangka pelaksanaan Inpres moratorium sawit telah mengkoordinir sejumlah kementerian dan lembaga negara terkait. Tim Yayasan Auriga Nusantara sebagai bagian dari Tim KEHATI, turut serta dalam konsolidasi data ini.
Hasil konsolidasi tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin yang menegaskan bahwa tutupan sawit nasional seluas 16,38 juta hektare.
Keseluruhan proses sebagai bagian dari dialog terbuka tersebut menjadi bukti empirik bahwa perbedaan data bisa diselesaikan dengan baik. “Perlu dipahami bahwa sebuah data hadir dengan latar belakang dan metodologi tertentu, sehingga perbedaan metodologi sangat mungkin menghadirkan angka yang berbeda. Maka, dialog diperlukan agar pijakan sebuah keputusan atau kebijakan menjadi lebih solid,” kata Timer Manurung,
Ketua Yayasan Auriga Nusantara itu juga sangat terbuka tentang kemungkinan perbedaan data mengenai tutupan lahan di Indonesia. Menurutnya, Yayasan Auriga Nusantara tidak akan berhenti hanya pada analisis citra satelit saja, namun akan mengembangkan lebih jauh.
Salah satunya adalah penggunaan drone untuk pendataan sawit rakyat. Resolusi gambar drone jauh lebih tinggi, sehingga membantu mempercepat proses pemetaan di lapangan.
“Ini semua merupakan rangkaian inovasi yang kami harapkan turut mendorong pelestarian sumber daya alam Indonesia. Saat ini, tim kami telah selesai memetakan tutupan sawit 2020, dan kami berencana merilisnya dalam waktu dekat,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Informasi dan Data Yayasan Auriga Nusantara Deddy Sukmara mengatkan, pemetaan berbasis gambar drone diharapkan memicu percepatan pemetaan sawit rakyat. “Sehingga kebijakan persawitan di masa depan lebih tepat sasaran, demi tata kelola lahan sawit berkelanjutan,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)