JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Dua gugatan sengketa informasi penting atas data dan dokumen yang selama ini disembunyikan oleh Kementerian ESDM di sektor pertambangan dikabulkan oleh Majelis Hakim Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) di dua sidang virtual terpisah hari ini.
Kuasa Hukum Penggugat Muhamad Jamil mengatakan, keputusan tersebut memberi penegasan bahwa masa-masa praktik gelap para oligarki tambang dalam proses memperoleh dan perpanjangan izin sudah berakhir. “Karena itu melawan hukum hak-hak publik,” tegasnya.
Sengketa informasi pertama yang dikabulkan KIP adalah gugatan yang didaftarkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur pada 17 November 2020. JATAM Kaltim (pemohon) menggugat Kementerian ESDM (termohon) atas ketertutupan 5 perusahaan pemegang Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 4 jenis dokumen evaluasi.
“Semua gugatan ini dikabulkan,” terang Jamil. Majelis Hakim komisioner juga memutuskan pembatalan SK Menteri ESDM Nomor 002 Tahun 2019 tentang Klasifikasi Informasi Yang Dikecualikan Sub Sektor Mineral dan Batubara yang menyebutkan Dokumen Kontrak PKP2B dan Kontrak Karya (KK) beserta perubahannya sebagai data dan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara.
“Ini adalah kemenangan publik, kemenangan warga yang selama ini terdampak operasional tambang,” ungkapnya.
Dinamisator JATAM Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, putusan KIP ini menunjukkan bahwa langkah menyembunyikan data dan informasi yang selama ini kerap dilakukan Kementerian ESDM adalah perbuatan salah secara hukum.
“Dengan putusan ini, maka perpanjangan izin PT Arutmin, dan yang sedang berlangsung PT Kaltim Prima Coal, tidak sesuai dengan regulasi,” tegasnya.
Selama ini proses perpanjangan izin diakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, padahal selama beroperasi, dua perusahaan itu telah menyebabkan banyak kerugian bagi lingkungan dan masyarakat. “Kami mendesak operasi tambang Arutmin dan KPC harus dihentikan dan lakukan evaluasi,” katanya.
Warga menolak PT DPM karena beroperasi di wilayah patahan Sumatera Besar yang berdampak pada lahan pertanian dan perkebunan warga. (sumber: JATAM) |
Gugatan Warga Dairi
Sengketa informasi kedua yang dikabulkan KIP adalah gugatan yang diajukan oleh Serli Siahaan, warga Kabupaten Dairi, Sumatera Utara dengan termohon Kementerian ESDM.
Objek yang disengketakan adalah salinan dokumen Kontrak Karya Hasil Renegosiasi Terbaru dan Salinan SK Kontrak Karya Nomor 272.K/30/D/DJB/2018 beserta dokumen pendukungnya milik PT. Dairi Prima Mineral.
PT DPM yang dimiliki keluarga Bakrie itu, sebagian besar sahamnya (51%) telah dijual ke China Nonferrous Metal Mining Group (NFC), perusahaan pertambangan logam milik negara Tiongkok.
“Ini adalah sebuah kemenangan besar bagi kami, warga Dairi. Putusan ini memberi semangat bagi perjuangan kami yang berjuang mempertahankan wilayah kami yang terancam dan telah menjadi korban operasi tambang DPM,” kata Serli yang dalam melakukan gugatan dibantu oleh Sekretariat Bersama Tolak Tambang Dairi.
Perjuangan warga Dairi melawan PT DPM telah lama berlangsung lama, sejak penandatangan kontrak karya (KK) No.53/Pres/1/1998 tertanggal 17 Februari 1998 dilakukan. Perlawanan warga semakin gencar ketika PT DPM melakukan eksplorasi yang menyebabkan banjir bandang pada tahun 2018 lalu.
Seluruh proses perizinan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan berlangsung tertutup. Padahal, konsesi tambang PT DPM yang mencapai lebih dari 24 ribu hektar itu, mengkapling lahan pertanian dan perkebunan. Juga arealnya masuk di area permukiman warga dan fasilitas publik, seperti gereja, masjid, dan sekolah.
“Selama ini, informasi izin tersebut selalu disimpan dan dirahasiakan. Permintaan dokumen perizinan perusahaan yang kami lakukan pada 2018 juga ditolak ESDM,” paparnya,
Padahal apa yang termuat dalam dokumen itu, menurut Serli, menyangkut kehidupan masyarakat dan mereka berhak untuk mengetahuinya. “Ini awal yang baik dan memberi tambahan semangat sekaligus menunjukkan kepada masyarakat bahwa hak-hak publik itu lebih tinggi dari apapun termasuk hak informasi yang berhubungan dengan ruang hidup warga,” ujarnya.
Konsesi tambang PT DPM yang terbentang dari Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat di Sumatera Utara hingga Kota Subulussalam, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terletak di jantung dari salah satu titik kerak bumi yang paling tidak stabil secara seismik.
Jaraknya sekitar 150 mil timur dari batas antara lempeng geologis yang dikenal sebagai subduksi Sunda, yang telah memicu letusan besar gunung berapi termasuk Toba dan Krakatau pada tahun 1883.
Menurut Jamil, daerah itu terdampak ketika terjadi gempa di Samudera Hindia dan tsunami pada 2004 yang berjarak hanya beberapa mil dari patahan Sumatera Besar. Saat itu gempa bumi berlangsung beberapa menit. Akibatnya, sejumlah infrastruktur seperti bendungan rusak.
“Keberadaan PT DPM berisiko besar bagi keselamatan warga, tidak saja terkait tambang bawah tanah yang memakai bahan peledak, tetapi, bendungan limbah tailing raksasa untuk menampung limbah tambang berada di atas tanah yang labil dan patahan gempa Sumatera,” katanya.
Semua itu, berpotensi besar menghancurkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, juga akan menenggelamkan desa-desa di bagian hilir.
Dengan demikian, putusan hukum atas sengketa informasi di KIP oleh warga Dairi mestinya menjadi acuan bagi pemerintah untuk menghentikan operasi dan segera mengevaluasi PT DPM. “Termasuk menghentikan permanen seluruh proses adendum AMDAL di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)