BENGKULU, BERITALINGKUNGAN.COM — Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu menolak rencana perkebunan sawit skala besar di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Selain berpotensi merusak ekosistem kawasan, kehadiran komoditas itu juga akan membuat wilayah masyarakat adat semakin tergerus.
Ketua Dewan AMAN Wilayah Bengkulu Rafli Zen Kaitora mengatakan, kabar tentang rencana pembukaan perkebunan sawit skala besar telah beredar luas di masyarakat. Bahkan ada aktivitas berupa pertemuan antara warga dan pihak perusahaan yang hendak berinvestasi.
“Karena itu, jangan ubah Enggano jadi pulau sawit,” katanya.
Menurut pria yang juga Kepala Suku Kaitora Enggano itu, usulan pembukaan perkebunan sawit akan mencaplok lahan di Pulau Enggano hingga seluas 15 ribu hektare atau hampir setengah kawasan Pulau Enggano yang luasnya cuma 39 ribu hektare. “Warga adat di Enggano kini resah,” terang Rafli.
Tolak Sawit
Rafli menyebut, empat tahun lalu, seluruh kepala suku di Enggano telah membuat keputusan bersama untuk menolak munculnya perkebunan sawit di pulau mereka. “Tahun 2017, seluruh kepala suku, ketua lembaga adat, camat dan BKSDA, ikut menandatangani deklarasinya,” ungkapnya.
Keputusan bersama yang diberi judul “Deklarasi Pelestarian dan Penyelamatan Pulau Enggano” itu sengaja dicetuskan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Kepala Suku Masyarakat Adat Pulau Enggano dengan Nomor: 02/KPS/Ka.S/E/2009 tentang Pengolahan Sumber Daya Alam, Satwa, dan Hewan serta Pembukaan Lahan, Pengelolaan dan Pelestarian Kawasan Pesisir Pulau Enggano dalam Upaya Penyelamatan Pulau Enggano dari Ancaman Abrasi.
Dalam ketetapan itu diputuskan bahwa masyarakat adat Enggano menolak secara tegas penanaman kelapa sawit di Pulau Enggano. Baik itu di wilayah Areal Peruntukan Lain (APL) atau areal masyarakat yang masih berhutan. “Sepakat untuk melakukan penyelamatan SDA dan ekosistem Pulau Enggano,” imbuh Rafli.
Percepat Perda Adat
Ketua Badan Pelaksana Harian AMAN Wilayah Bengkulu Deftri Hardianto mengungkapkan bahwa penolakan masyarakat di Pulau Enggano seharusnya direspons secara cepat oleh pemerintah daerah.
Alasannya, penolakan masyarakat adat Enggano didasarkan atas kearifan lokal selaku pemilik hak atas wilayah adatnya. Oleh karena itu pemerintah harus mengedepankan hak hidup masyarakat.
“Bengkulu mestinya bangga dengan keunikan dan kekhasan serta kekayaan Pulau Enggano. Suara rakyat jauh lebih penting ketimbang investasi yang sementara,” terang Deftri.
Atas dasar itu, Deftri mengingatkan pemerintah daerah untuk selalu mengedepankan kepentingan masyarakat. Termasuk dengan mempercepat pembuatan peraturan daerah mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Enggano di Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara.
Menurut Deftri, Perda tersebut akan menjadi payung hukum yang melindungi keberadaan masyarakat adat termasuk dari investasi yang merusak di Pulau Enggano. “Perda ini menjadi penting untuk melindungi hak masyarakat adat Enggano,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)