BALI, BERITALINGKUNGAN.COM- Mars bekerja sama dengan Australian Center for Agricultural Research (ACIAR) menyelenggarakan the Asia Pacific Regional Cocoa Integrated Pest Management Symposium 2019 atau Simposium Pengendalian Hama Kakao Terpadu, pada tanggal 9-11 April 2019 di Bali.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk berbagi dan mengembangkan keahlian tentang penyakit kakao yang kurang dikenal, yang sangat berdampak pada menurunnya produktivitas petani dan pada akhirnya mengancam industri cokelat global.
Terinspirasi dari keinginan untuk meningkatkan daya tahan kakao terhadap ancaman utama hama dan penyakit di abad ke-21. Mars berinisiasi untuk menyatukan sejumlah ilmuwan di bidang kakao dari berbagai negara penghasil kakao Asia-Pasifik serta ilmuwan regional dan internasional yang bekerja di bidang Pengelolaan Hama Terpadu.
Simposium ini dihadiri oleh sejumlah peneliti hama dan penyakit dari perguruan tinggi seperti University of Sidney, University of Queenslands, James Cook Univesity (Australia), Nong Lam University (Vietnam), University of Reading (Inggris), Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, dan Universitas Gajah Mada. Hadir pula peneliti-peneliti kakao dari berbagai institusi kakao dari Asia, Australia, Amerika, Papua Nugini, Eropa, dan Afrika.
Dalam simposium ini, para peneliti berbagi hasil penelitian dan berdiskusi terkait hama dan penyakit kakao. Fokus pada pengembangan pendekatan praktis dan mengkaji lebih lanjut hal yang perlu diketahui terkait patogen kompleks ini.
Tujuannya untuk mendapatkan peluang terbaik dalam penanggulangannya dalam konteks adanya tantangan tambahan, seperti perubahan iklim, persaingan dengan tanaman lain dan kelangkaan tenaga kerja.
Dalam proyeksi ICCO untuk musim panen 2018/2019 diungkapkan bahwa penggilingan kakao dunia meningkat sebesar 2.6% dibandingkan musim panen sebelumnya. Perkiraan ini mencerminkan peningkatan permintaan kakao di berbagai negara serta tingginya permintaan cokelat dengan kandungan kakao tinggi.
Saat ini mata pencaharian 40 juta orang di seluruh dunia terkait dengan produksi kakao, namun ironisnya sekitar 38% dari tanaman kakao tersebut hilang setiap tahun karena masalah jamur, virus atau hama.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan statistik kakao oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016-2017 produksi kakao di Indonesia menurun dari 658.399 ton menjadi 657.050 ton-ton. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi mengenai masalah yang menjadi penyebab menurunnya produksi kakao sangat diperlukan, terutama masalah hama buah kakao.
Direktur Pengelolaan Hama Terpadu Mars Cocoa Jean-Philippe Marelli, Sr melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com mengatakan, kakao adalah tanaman unik dengan beragam patogen dan hama yang rumit dengan siklus hidup yang kompleks.
Patogen kakao, terutama spesies yang kurang dikenal seperti Frosty Pod dan Cacao Swollen Shoot Virus, perlu diteliti lebih lanjut. Inilah sebabnya kami menginisiasi simposium ini, untuk mendorong kolaborasi dan berbagi keahlian kami dalam sains dan teknologi, sehingga dapat membantu petani kakao di seluruh dunia.
Patogen kakao sendiri sangat beragam, kompleks dan kurang dipahami dibandingkan dengan penyakit tanaman lainnya. Patogen kecil dan serangga yang saat ini terlokalisasi, mungkin juga menjadi lebih buruk dengan perubahan iklim atau jika mereka menyebar ke lingkungan baru.
Selain itu, aktivitas manusia juga telah menjadi ancaman terbesar untuk menyebarkan penyakit-penyakit ini, dengan konsekuensi yang berpotensi bencana bagi industri cokelat.
Mars percaya dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memahami penyakit unik ini, terutama varietas yang kurang dikenal seperti Witches Broom dan Frosty Pod, yang menjadi penyebab hilangnya tanaman kakao secara signifikan.
Arie Nauvel Iskandar, Direktur Corporate Affairs Mars Indonesia menyatakan, pentingnya kegiatan ini dalam rangka mengatasi masalah hama dan penyakit kakao, khususnya di Indonesia.
Diharapkan dari hasil simposium ini akan memberikan harapan yang lebih baik bagi petani. “Kami percaya bahwa menemukan solusi alternatif untuk mengatasi berbagai penyakit kakao tentu akan meningkatkan kualitas dan produktivitas biji kakao, dan dengan melakukan itu akan memberikan harapan bagi petani kakao, terutama di Indonesia”tandasnya. (Marwan)