Oleh : Jekson Simanjuntak
“Alam membaik, langit biru, lobang ozon semakin mengecil, laut semakin bersih, ikan semakin tumbuh, alam tampak mengalami rehabilitasi”
–Emil Salim, Hari Bumi ke-50
“Jadi pertama Hari Bumi dimulai pada tahun 1970. Sekarang kita memperingati 50 tahun pada 2020”, ujar Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang juga tokoh lingkungan hidup Indonesia saat membuka diskusi pada peringatan Hari Bumi, 22 April lalu di Jakara.
Emil Salim yang telah menyaksikan bagaimana Bumi dikeruk isinya di era 60-70an, memunculkan pemahaman baru tentang pentingnya kepedulian dalam bentuk nyata. Kala itu, Bumi mengalami luka mendalam akibat eksploitasi berlebihan, sehingga menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Emil Salim mengistilahkannya sebagai “gejala musim semi yang sepi atau silent spring. Alam diam berhenti. Tidak berbunyi. Kicauan burung tidak ada saat itu”.
Pada tahun 1970, masyarakat disadarkan akan kondisi memprihatinkan, dimana penyakit-penyakit baru akibat kerusakan lingkungan muncul. “Salah satunya, Minamata, karena cemarnya air laut, yang masuk ke ikan dan dimakan manusia”, katanya.
Hari Bumi pertama kali diadakan pada tahun 1970, ketika mobilisasi jutaan orang Amerika untuk melindungi planet ini, berhasil digelar dan menyita perhatian dunia. Saat itu, tepatnya 22 April 1970, 20 juta orang Amerika atau setara dengan 10% dari populasi AS saat itu turun ke jalan.
Mereka adalah aktivis lingkungan yang mendapat dukungan kampus termasuk politisi untuk memprotes ketidaktahuan lingkungan dan menuntut cara baru untuk maju bagi planet kita.
Hari Bumi pertama kali dikaitkan dengan peluncuran gerakan lingkungan modern, dan sekarang diakui sebagai gerakan masyarakat sipil terbesar di planet ini. Gerakan itu akhirnya menyebar ke kota-kota lain di AS, sebelum menjalar ke seluruh dunia.
Hari Bumi telah mengakibatkan munculnya Undang-Undang Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, termasuk UU Udara Bersih, Air Bersih dan Tindakan Spesies yang Terancam Punah. Banyak negara kemudian mengadopsi undang-undang tersebut, dan pada tahun 2016, PBB memilih peringatan Hari Bumi sebagai hari untuk menandatangani Perjanjian Iklim Paris.
50 Tahun Hari Bumi
Lalu 50 tahun kemudian, tepatnya di tahun 2020, kondisi Bumi mulai berubah. Emil Salim menyebutnya sebagai tahun perubahan radikal, dimana kondisinya terbalik.
“Alam membaik, langit biru tampak kembali, lobang ozon semakin mengecil, laut semakin bersih, ikan semakin tumbuh, alam tampak mengalami rehabilitasi”, papar Emil Salim
Mengapa Alam membaik? Hal itu tak bisa dilepaskan dari berhentinya kegiatan manusia.
“Jadi 2020 terbalik keadaannya. Alam semakin baik, manusia babak Belur. Dan alam membaik karena pola manusia, yang berbangun dan pola ekonomi yang berubah”, ujar Emil Salim yang merupakan penerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF).
Hal itu, tidak bisa dipisahkan dari resources (sumber daya) yang terbatas dan bagi Emil Salim, tidak melulu harus di eksploitasi, tetapi hendaknya diperkaya. Ini menjadi penting, karena ada momen “diam di rumah saja, tidak mengadakan mobilitas, harus ambil jarak, praktis pembangunan gaya lama berhenti”, ujar Emil Salim.
Menurut Emil, kondisi alam yang membaik seharusnya disikapi sebagai momentum untuk berubah. Waktu dimana kita melakukan aksi radikal tak kala dua kontras terjadi, yaitu: “1970, alam rusak, masyarak ekonominya booming/ naik. Sedangkan 2020, alam membaik, manusia babak Belur”, kata Emil Salim.
Maka pelajaran yang bisa kita tarik, menurut Emil, adalah, bagaimana membangun di masa depan, namun tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. “Supaya alam yang baik tetap bisa dilestarikan, lalu bagaimana bekerja dengan jarak, artinya dengan teknologi”, ujar Emil Salim penerima Blue Planet Prize pada tahun 2006 dari The Asahi Glass Foundation.
Emil Salim juga menekankan tentang peningkatan sumber daya manusia, melalui ilmu pengetahuan. Disinilah konsep pengayaan (resourse enrichment) muncul sebagai jawaban atas kegelisahan para aktivis dan pemerhati lingkungan selama ini.
“Bagaimana enrichment memperkaya sumber daya alam. Jadi pola pembangunan nantinya, manusia mengembangkan eonominya harus alami perubahan”, tegas Emil.
Bagi pendiri Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) itu, anjuran melakukan social/physical distancing, belajar/ bekerja dari rumah, hingga mengurangi mobilitas yang tidak perlu, memberi pemahaman baru tentang mengapa kita perlu adil terhadap Bumi.
“Belajar dr sini, kita harus membangun cara lain yang dibandingkan dengan kemarin. Ini pelajaran dari hari Bumi sekarang ini”, tegas Emil Salim.
Belajar Dari Masyarakat Adat
Lalu, apa yang terjadi pada masyarakat adat, masyarakat terpencil yang banyak di temukan di sekitar hutan, sepengetahuan Emil Salim, hendaknya digali kearifan lokalnya. Pasalnya dari situ, Emil meminta kita untuk belajar, tentang survival dan hidup serasi dengan alam tanpa merusaknya.
“Apa yang kita tampak dari masyarakat adat, membangun sesuai dengan keadaan alam. Dia tidak merusak alam, malah memperkaya alam, enrichment“, tegas tokoh tiga zaman yang masih aktif berkegiatan hingga saat ini.
Karena itu, bagi Emil Salim, yang prinsipil adalah sikap manusia yang tidak serakah, tidak eksploitatif dan hidup beriringan dengan alam. “Sudah waktunya kita beralih dari manusia yang eksploitatif, dimana alam dirusak, dibom, digali di macam-macamin, kita tinggalkan”, paparnya.
Sementara disaat bersamaan, masyarakat adat dengan local wisdom (kearifan lokal)nya terbukti mampu hidup serasi dengan alam. Bahkan di masa pandemi Covid-19 saat ini, banyak dari mereka yang mampu melindungi diri, sehingga terhindar dari wabah tersebut.
“Maka bolehkah wisdom itu dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, untuk memahami nilai tambah dari buah-buahan, dari tanaman, termasuk juga dari apa yg diketahui masyarakat adat”, papar Emil Salim yang sempat menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 10 April 2007 dan pada 25 Januari 2010.
Contoh-contoh, seperti bagaimana suku-suku terasing mampu menghadapi serangan nyamuk malaria, atau tentang ulat atau cacing untuk penawar sakit perut, dan banyak cerita lainnya, menurut Emil Salim, perlu diteliti lebih lanjut.
“Ada local wisdom yang mereka gunakan untuk menghadapi masalah, bagaimana mereka menundukkan alam, binatang liar dengan menggunakan bahan dari hutan, juga bisa digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit”, ujar Emil Salim.
Itulah mengapa, Guru Besar FEUI itu berkeyakinan bahwa wisdom yang memungkinkan masyarakat adat dan suku-suku terasing mampu bertahan hingga sekarang. Meski jumlahnya tidak bertambah drastis, namun satu yang pasti mereka tidak punah.
“Persoalannya sekarang, local wisdom itu belum dikembangkan oleh para ilmuwan yang memiliki ilmu pengetahuan”, jelas Emil Salim.
Ilmuwan Perlu Dilibatkan
Jika diteliti, wisdom yang ada akan berkembang, termasuk digunakan oleh masyarakat modern saat ini. “Apakah menjadi obat, sehingga ada fungsinya pengetahuan masyarakat lokal. Bisa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan”, kata Emil Salim.
Lebih jauh, Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali (3-14 Desember 2007) itu menantang para ilmuwan untuk lebih peduli terhadap sumberdaya alam hayati (biodiversitas), termasuk biological resources.
“Sudah saatnya kita mencari nilai tambah dari biological resourses, bertolak dari apa yg dimiliki masyarakat adat di Indonesia”, ujar Emil Salim.
Ketika pengetahuan atau kearifan lokal itu berguna, maka masyarakat disekitarnya, termasuk pemerintah akan memberikan pengakuan. Ini yang menurut Emil Salim sebagai “masyarakat adat dan suku terasing akan naik kelas, ketika ada pengakuan atas budaya yang mereka pertahankan hingga sekarang”.
Semua itu hanya mungkin terwujud ketika pengetahuan digali, diperkaya sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan terbaru, buah dari karya kreatifitas yang terus menerus.
Sebagai contoh, Emil mengisahkan tentang mengapa Orang Rimba di Jambi rentan terhadap hepatitis & malaria, padahal genetik mereka mampu beradaptasi degan baik dalam waktu lama.
Lalu, mampukah para ilmuwan memahami hepatitis dan malaria di Orang Rimba, termasuk mengenali segi-segi genetika apa yang menyebabkan penduduk tersebut peka dengan penyakit tersebut?
“Sehingga jangan sampai malaria dan hepatitis justru menjadi penyebab musnahnya Orang Rimba”, kata Emil Salim.
Untuk itu, kreatifitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, bagi Emi Salim merupakan jawaban untuk memahami mengapa genetika Orang Rimba peka terhadap hepatitis dan malaria.
“Kuncinya kita mengembangkan pengetahuan Orang Rimba. Mereka punya kearifan lokal, bisakah kearifan tersebut diteliti para ilmuwan, khususnya tentang biological resources, agar bisa digunakan untuk kepentingan umat manusia”, pinta Emil Salim.
Dengan begitu, setiap masyarakat adat dan suku terasing di Indonesia, memiliki jasa terhadap kemanusiaan dan Bumi, khususnya. “Sehingga pemerintah akan melihat orang rimba dalam perspektif berbeda. Jangan sampai kita melihat mereka, seperti masuk museum”, papar Emil Salim.
Pentingnya Enrichment
Dari peristiwa itu, kita akan memahami bahwa sudah waktunya kita beralih dari konsep eksploitatif ke resource enrichment atau pengayaan sumberdaya alam hayati.
“Apa yang kita pelajari hari-hari ini dari pembangunan yang merusak, harus diubah, sehingga tidak menghancurkan, tidak memeras, tidak menggali, tidak menghantam tapi menjadi memperkaya”, terang Emil Salim.
Jadi secara sederhana, kita mungkin bisa menyimak Surah An-Nahl, kata Emil Salim. Disurat itu dikisahkan mengenai peran lebah bagi manusia.
“Mengapa lebah diangkat? Karena lebah adalah sumber untuk menyebarkan serbuk ke bunga, ke tanaman, ke buah-buahanan. Dia menjalankan fungsi untuk menyebarkan kekayaan alam. Mengapa kita tidak belajar dari alam itu”, ungkap Emil Salim yang merupakan Anggota Dewan Pembina Yayasan Kehati.
“Sudah waktunya kita tidak merusak, tidak mengeksploitasi, tetapi memperkaya alam, agar isinya, ekosistemnya, biodiversitasnya tetap terjaga”, tambah Emil Salim
Dengan demikian, kita juga memperkaya kehidupan manusia yang serasi dengan ekosistem alam.
Bangkit Yang Benar
Sementara kaitannya dengan kemampuan untuk keluar dari pandemi Covid-19, Emil Salim melihat ini sebagai momentum untuk bangkit. “Persoalannya bukan bangkit yang cepat dari pandemi, tetapi bangkit yang baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama, sehingga kembali pada krisis yang lalu”, ujarnya.
Emil Salim menilai, apa yang diajarkan oleh pandemi ini adalah tekanan terhadap social safety nett (jaringan sosial). “Berarti jaringan kemiskinan penduduk yang perlu ditangani, karena jumlahnya banyak sekali. Dimasa depan tidak boleh lagi ada gap kemiskinan yang demikian besar”, pinta Emil Salim.
Lalu, Emil Salim juga mengkritisi terkait minimnya hasl penelitian-penilitian terbaru, khususnya tentang Covid-19. Ada yang salah dengan kondisi saat ini, ketika Emil menyebutnya sebagai “ilmu seolah olah berhenti”.
“Ketika tidak ada para pemikir kita yang mencari obat antivirus. Artinya apa? Pendidikan kita tancap gas pada ilmu kesehatan di seluruh Indonesia”, kata Emil Salim.
Terakhir, Emil Salim meminta pemerintah untuk beralih dari energi kotor ke energi yang ramah lingkungan. Faktanya, menurut Emil, karena di saat wabah, ditemukan harga batubara, minyak bumi justru anjlok.
“Hilang batubara dan minyak bumi, jadi itu yang terjadi kalau kita berlanjut pada eksploitasi sumber daya alam”, tegas Emil.
Itulah mengapa, jika tidak dimulai dari hari ini, Emil Salim membayangkan dunia secara global akan menghadapi jalan buntu, jika perubahan yang berpihak pada alam tidak dilakukan.
“Ke depan, kuncinya bukan pada eksploitasi sumberdaya alam, tetapi pada resource enrichment“, pungkasnya.***
–>