JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Aturan mengenai pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia memasuki babak baru. DPR akhirnya mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba, pada Selasa (12/5/2020) melalui Rapat Paripurna.
Revisi UU minerba yang baru itu memuat sejumlah pasal kontroversial terkait penerbitan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB), wilayah hukum pertambangan, penguasaan mineral dan batu bara, kriteria menetapkan WPR, hingga kriminalisasi terhadap warga penolak tambang.
Sementara itu, DPR berdalih UU Minerba yang baru diperlukan untuk memperjelas soal perpanjangan izin, pengaturan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi hingga penguatan badan usaha milik negara (BUMN).
Sejumlah kalangan, utamanya NGO lingkungan menolak pengesahan tersebut, karena dinilai sarat kepentingan pengusaha tambang, selain proses pembahasannya yang terburu-buru.
Berita Lingkungan mencoba merangkum sejumlah pasal kontroversial dalam aturan soal mineral dan batu bara, serta pasal-pasal penting yang dihapus dari UU lama. Berikut uraiannya:
1. Pasal 1 ayat (13a)
Di ketentuan baru ada Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB): izin yang diberikan untuk kegiatan usaha pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu. Pasal ini dinilai membuka ruang rente baru.
2. Pasal 1 ayat 28a
Pasal yang mengatur bahwa Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen.
Definisi yang baru itu dianggap mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.
3. Pasal 4 ayat 2
Pasal ini khusus mengatur penguasaan mineral dan batu bara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan di UU lama, kewenangan itu ada di pemerintah daerah. UU Minerba baru mengatur semua kewenangan perizinan tak lagi ada di pemerintah daerah, melainkan ditarik ke pusat. Akibatnya, aturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
4. Pasal 22
Pasal 22 huruf a dan d tentang kriteria menetapkan WPR telah membuka peluang terhadap penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal sebelumnya 25 hektar.
5. Pasal 42 dan Pasal 42A
Untuk keperluan eksplorasi, pasal ini mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batu bara menguasai lahan dalam jangka waktu yang lama.
Sebelumnya waktu yang diberikan untuk eksplorasi hanya 2 tahun. Di UU baru, pengusaaan tanah berskala besar oleh pengusaha tambang diperbolehkan 8 tahun dan dapat diperpanjang setiap satu tahun sekali. Masa penguasaan lahan lebih lama berpeluang terjadinya land banking.
6. Dihapusnya Pasal 83 ayat (2) dan (4) UU Minerba Lama
Pasal 83 ayat (2) UU Minerba lama mengatur batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan mineral logam paling banyak 25 ribu hektare. Dan di Pasal 83 (4) UU lama menyebut batasan luas WIUPK untuk produksi pertambangan batu bara paling luas 15 ribu hektare.
7. Pasal 162 dan 164
Kedua pasal ini membuka peluang terjadinya kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Pasal 162 menyebut bahwa “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sementara Pasal 164 mengatur soal sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam Pasal 162. Sanksi tambahan berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
8. Dihapusnya Pasal 165 UU Minerba Lama
Pasal 165 UU Minerba lama memuat sanksi pidana bagi pejabat yang korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Pasal itu menyebut pejabat yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah).”
Di UU yang baru, ketentuan ini hilang. Sejumlah pihak menilai, hal itu membuka celah bagi korupsi di bidang minerba.
9. Pasal 169A
Pasal ini khusus terkait perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa melalui lelang. KK dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan otomatis 2×10 tahun tanpa harus mengurangi perluasan wilayahnya.
Di UU yang lama disebutkan, kawasan harus dikembalikan kepada negara setiap habis kontrak dan dilelang ulang. Pasal UU ini berpotensi membuka celah perpanjangan kontrak baru bagi sejumlah perusahaan minerba yang akan selesai masa kontraknya.
10. Pasal 169B ayat (5)
Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Produksi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi kepada menteri untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan. Pasal ini akan memberikan keistimewaan bagi pemegang IUPK untuk mendapatkan konsesi tambahan.
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan RUU Mineral dan Batu Bara menjadi Undang-undang UU Minerba yang baru, ketika koalisi masyarakat sipil mengkritik keras revisi tersebut.
Koalisi masyarakat sipil menilai Revisi UU Minerba harus dibatalkan, karena memuat sejumlah pasal bermasalah, serta lebih berpihak kepada pengusaha (koorporasi) dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat yang ada disekitar tambang. (Jekson Simanjuntak)
–>