JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Seven (G7) di Elmau, Jerman, telah usai pada akhir Juni lalu. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Indonesia sebagai negara mitra G7 dan Presidensi G20 itu, telah menghasilkan sejumlah kesepakatan.
Salah satunya adalah kolaborasi dengan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mempercepat agenda transisi energi bersih melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership atau JETP).
Saat itu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sebesar 25-30 miliar USD (sekitar Rp442 triliun) selama delapan tahun ke depan untuk mengakselerasi transisi energi.
JETP antara Indonesia dengan negara G7 ditujukan untuk mendukung reformasi kebijakan energi yang dilakukan dengan cara mendekarbonisasi sistem energi dan meningkatkan efisiensi energi.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya mengatakan, meskipun terlihat ambisius, namun saat ini tidak satupun dari negara G7 ataupun Indonesia yang aksi iklimnya sejalan dengan Kesepakatan Paris.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia misalnya masih melakukan langkah-langkah kontradiktif dengan berusaha membangun setidaknya 13,5 GW PLTU batu bara baru dalam berbagai tahapan termasuk tahap pendanaan, di luar PLTU batu bara captive untuk industri.
Oleh sebab itu kepemimpinan Indonesia dalam presidensi G20 memainkan peran penting dalam situasi krisis energi global saat ini. “Presidensi G20 Indonesia harus menegaskan dan menyepakati akselerasi transisi energi fosil ke energi bersih dan terbarukan dan pengelolaan transisi tersebut,” ujarnya.
Kesepakatan tersebut harus segera dilaksanakan dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah dari COP26 di Glasgow dan Pertemuan Puncak G7 beberapa waktu lalu.
Tata menjelaskan bahwa transisi energi haruslah memenuhi nilai keadilan, inklusif, dan demokratis serta dilaksanakan dengan tata kelola yang bersih dan tidak korup. “Transisi energi yang terbarukan juga harus menerapkan ekonomi sirkular dari hulu ke hilir sehingga bisa menjadi solusi sesungguhnya bagi lingkungan dan iklim,” paparnya.
Akhiri era energi kotor
Sebelumnya, Prancis, Jerman, Inggris, AS, dan Uni Eropa sebagai negara G7 juga meluncurkan program Just Energy Transition Partnership dengan Afrika Selatan. Melalui kesepakatan kemitraan ini, mereka mengumumkan ambisi jangka panjang bersama dalam mendukung dekarbonisasi Afrika Selatan yang berfokus pada sistem kelistrikan.
Managing Director 350org Asia Sisilia Nurmala Dewi mengatakan, ambisi tersebut untuk membantu mencapai tujuan yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru mengenai target penurunan emisi.
Upaya tersebut dilakukan dengan memberikan pembiayaan awal sebesar $8,5 miliar (sekitar 120 triliun) melalui berbagai mekanisme termasuk hibah, pinjaman lunak dan investasi, dan instrumen pembagian risiko, termasuk untuk memobilisasi sektor swasta.
Berdasarkan pengalaman dari Afrika Selatan sebagai penerima dana JETP, menurut Sisilia ada banyak kesamaan kondisi dan tantangan antara Indonesia dan Afrika Selatan. “Bahkan, dengan melihat bagaimana ambisi di level nasional melalui masing-masing NDC, target Indonesia tampak tidak lebih ambisius (highly insufficient) dari target Afrika Selatan (insufficient),” katanya.
Oleh karena itu, penting bagi publik bisa memantau lebih jauh bagaimana detil kesepakatan JETP termasuk mekanisme dan porsi pendanaan yang diberikan. Di Afrika Selatan, porsi dukungan pendanaan untuk transisi energi sangat besar, namun sedikit yang diberikan untuk aspek keadilannya.
“Idealnya, rumusan just energy transition itu harus ambisius, demokratis, dan prosesnya dibuka bagi keterlibatan mereka yang terdampak (pekerja, masyarakat di wilayah batubara, anak muda),” papar Sisilia.
Senada dengan itu, Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, menyatakan agar JETP menjadi perwujudan nyata tanggung jawab negara maju dalam upaya bersama secara global mengurangi emisi dan mengatasi laju perubahan iklim.
Oleh sebab itu, pendanaan ke negara berkembang titik tekannya harus dalam bentuk hibah, bukan pinjaman agar tidak memberatkan dan upaya akselerasi transisi energi menjadi lebih optimal.
Selain itu, pendanaan JETP yang diterima Indonesia jangan sampai salah sasaran. Misalnya digunakan untuk memensiunkan PLTU yang telah melewati masa operasi dan sudah harus berhenti. “Di sisi lain, inisiatif JETP semestinya juga disertai dengan kesiapan pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan panduan yang jelas dalam menjalankan pensiun dini PLTU,” tegasnya.
Salah satunya dengan segera mengesahkan Perpres mengenai Penghentian Operasi PLTU yang hingga sekarang belum dilakukan pemerintah.
Dengan demikian, kata Andri, upaya akselerasi transisi energi penting untuk menghindari solusi-solusi palsu (false solutions), sehingga, negosiasi mengenai JETP juga harus menghindari segala bentuk dukungan terhadap solusi palsu.
“Selain itu, negara G7 dan Indonesia sebagai Presidensi G20 seharusnya bisa membuktikan kepemimpinannya dengan mengubah janji-janji yang sering disampaikan ke publik menjadi implementasi nyata, terutama dalam hal ini untuk mengakhiri segera era energi kotor di dunia,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)