oleh Jekson Simanjuntak
“Alhamdullilah hanya dengan nurutin hobi, lumayan untuk ngirit, hampir Rp100 ribuan/ bulannya jika dibandingkan bayar PLN”.
— Agus Istiqlal
PURWOREJO, BERITALINGKUNGAN.COM – Gumpalan awan hitam menggelayut di ufuk barat, ketika Agus Istiqlal, warga Purworejo, Jawa Tengah baru selesai membersihkan 4 unit panel surya 12V 100WP miliknya. Panel tersebut, ia rakit dua tahun sebelumnya dan digunakan sebagai sumber energi alternatif.
“Saya sengaja naik untuk nengokin, karena panelnya udah lama gak dibersihin. Ini di genteng ada 100 WP x 4, totalnya 400 WP,” katanya.
Saat ini, panel surya berdaya 400 WP dirasa kurang seiring kebutuhan energi listrik yang meningkat. Itu sebabnya jika ada rejeki, Agus berniat menambah jumlahnya.
“JIka dihitung-hitung, saya hemat bayar lisrik PLN sekitar 50%, atau Rp100 ribu/ bulannya,” papar Agus yang juga pendiri Smile Media Nusantara.
Agus kemudian menjelaskan skema PLTS miliknya. Dimulai dari kabel yang berasal dari panel disambung ke Miniatur Circuit Breaker (MCB) sebelum dihubungkan ke controller yang memiliki kutub positif dan negatif.
“Dari controller ada kabel ke aki yang jumlahnya 4, masing-masing 100 Ah. Dua diseri lalu diparalel dengan sistem 24 volt. Dari MCB bebannya dibagi untuk diteruskan ke watt meter,” terangnya.
Dari watt meter, beban diteruskan ke inverter 2000 watt, sebelum berakhir di stop kontak dan saklar.
![]() | |
|
Berhubung waktu telah sore (pukul 16.15 WIB), Iqbal menunjukkan jika baterainya mulai penuh. Panel surya masih memproduksi energi listrik sebanyak 163 watt.
“Sementara itu, pemakaian saya cuma 110 watt. Ini bisa 24 jam, sehingga saya tidak tahu jika PLN sedang padam. Paling tahunya jika air kulkas mencair, karena masih menggunakan PLN,” terang Agus yang berprofesi sebagai jasa seting mikrotik.
Adapun biaya yang dkeluarkan untuk membangun instalasi panel surya terbilang besar. Biaya itu terdiri dari pembelian panel surya bermerk GH Solar 100 WP seharga Rp700 ribu/ unit. Jika ditotal, Ia merogoh kocek Rp.2.8 juta.
Selanjutnya, Agus membeli DS MCB seharga 70 ribu, controller make sky blue ukuran 30 Amp seharga Rp1.3 juta, baterai 100 Ah Rp1.1juta x 4 buah dengan total Rp4.4 juta, dan inverter 2000 watt seharga Rp2.4 juta.
“Jika ditambah asesoris dan lain-lain Rp1 juta, maka totalnya Rp12 juta untuk sistem sederhana ini,” ungkap Agus yang sempat menjadi technical support di Mentari Satria-Wireless Solution.
![]() | |
|
Bersihkan Panel Surya
Co-founder Alva Energi Edward E. Kosasih mengapresiasi kerja Agus yang telaten membersihkan panel surya miliknya. Menurut Edward, panel surya perlu dirawat, jangan sampai ada debu atau kotoran yang menempel.
“Pastikan jangan sampai ada kotoran hewan atau debu. Jika dibiarkan, akan terganggu daya serap yang bisa dikonversi menjadi listrik,” katanya.
![]() |
Cara merawat pembangkit listrik tenaga surya atap. (sumber: Edward E. Kosasih) |
Edward menjelaskan, panel surya merupakan susunan sel yang digabung. Ada yang digabung secara seri dan ada yang paralel. “Jika debu menutupi bagian tertentu, akan mempengaruhi, sehingga rangkaiannya terganggu,” ujarnya.
Selain itu, sistem pendukung seperti inverter, baterai dan charge controller perlu dipastikan aman dari air, ataupun dari gangguan lain. Selain itu, setahun sekali, koneksi kabel perlu dicek ulang.
![]() |
Skala aplikasi penggunaan baterai untuk pembangkit listrik tenaga surya. (sumber: Sarah A. Firnadya) |
Sementara itu, peneliti Zinc-Ion Batteries dari University of Cambridge Sarah A Firnadya menekankan tentang pentingnya baterai sebagai pendukung instalasi panel surya. Energi yang dihasilkan baterai dapat digunakan untuk mengurangi tagihan listrik PLN.
“Kita bisa menyimpan energinya dan digunakan malam hari. Jadi energi yang dihasilkan, digunakan sendiri, tidak dijual atau tidak terbuang,” terang Sarah.
![]() |
Agus Istiqlal bersama istri dan anak saat momen Idul Fitri. (foto: Agus Istiqlal) |
Selain itu, jika memiliki dana lebih, pemilik bisa menginstal lebih besar dari kapasitas pembangkit. Namun lebih dari itu, baterai merupakan smoothening the PV output untuk mengurangi energi yang terbuang (reduce the curtailment).
“Bayangkan ini panel ada di atap rumah kita. Jika ada matahari, kita bakalan bisa dapat listrik dan bisa langsung digunakan di lampu, alat elektronik, dll,” ungkapnya.
![]() |
Perbandingan rooftop solar dan ground mounted solar. (sumber: Felix Utama Kosasih) |
Potensi Energi Surya
PhD Researcher asal University of Cambridge Felix Utama Kosasih menilai keputusan Agus membangun PLTS skala rumahan layak ditiru. Kesadaran itu penting untuk mengejar renewable energy di Indonesia, mengingat sifatnya tidak terbatas dan bertahan di waktu yang lama.
Pun, Instalasi panel surya tidak membutuhkan pemindahan sumber energi ke pembangkit energi. “Tidak seperti batu bara atau gas yang butuh transport dari tambang ke pembangkit,” ujar felix saat menghadiri webinar bertema “Masa Depan Energi Indonesia: Energi Surya” beberapa waktu lalu.
Selain itu, renewable energy memiliki tingkat polusi dan emisi gas rumah kaca yang sangat rendah. “Bahkan dalam beberapa kasus, tidak ada sama sekali,” katanya.
Harga renewable energy juga turun seiring waktu. Untuk harga sumber energi terbarukan, sifatnya tidak tergantung isu geopolitik. “Tidak seperti minyak,” katanya.
![]() |
Potensi pembangkit listrik tenaga surya yang cukup untuk kebutuhan energi Bumi selama setahun. (sumber: Felix Utama Kosasih) |
Di Indonesia, potensi energi surya besar sekali, jika dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya. Bahkan energi surya yang sampai ke Bumi dalam waktu 1 jam, cukup untuk memenuhi semua kebutuhan energi selama setahun.
“Jika buat power plan menggunakan panel surya, kita hanya perlu menutup area seluas tertentu untuk mencukupi kebutuhan energi seluruh dunia. Tentu saja perlu mempertimbangkan transmisi dan distribusi,” terangnya.
Potensi energi surya yang kita miliki sebesar 536 gigawatt, namun yang terpasang baru 150 megawatt (2019). “Jadi yang terpasang sekarang bukan 30%, tetapi hanya 0.03%. Ini angkanya rendah sekali,” ujar Felix.
![]() |
Konsumsi listrik Indonesia pada tahun 20150. (sumber: David F. Silalahi) |
Senada dengan itu, PhD Candidate dari Australian National University David F. Silalahi mengamini jika potensi energi terbarukan Indonesia sangat besar. Kapasitas pembangkit, khususnya energi listrik sebesar 70 Gigawatt.
“Berapa potensi EBT kita? Kita punya 443 Gigawatt. Jadi sedemikian besar yang bisa dimanfaatkan. Jumlah itu, 7 kali dari kapasitas pembangkit di seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Adapun sumber energi terbarukan berasal dari panas bumi, air, bioenergi, arus laut, angin dan surya (PLTS) dengan potensi bauran energi terbarukan (Kementerian ESDM, 2018) sebesar 8.55%. “Tahun 2020 naik kira-kira 9%,” katanya.
![]() |
Potensi energi baru terbarukan (RUEN) (sumber: David F. Silalahi) |
Sementara itu, target di masa depan (2025) sebesar 23% dan 30 tahun dari sekarang (2050), pemerintah ingin bauran energinya mencapai 31%.
“Kita lihat secara mikro, bauran energi nasional tidak hanya energi listrik, namun ada energi BBM, gas dan lainnya. Besarnya 8.55%. Namun di sektor listrik, angkanya 12%,” papar David.
Karena itu, dari total 275 TWh yang dibangkitkan pada 2019, sebanyak 61% masih berasal dari batu bara, gas 23% dan BBM sebesar 4%. “Ini berupa genset dan PLTG menggunakan BBM,” katanya.
Jika dibandingkan dengan target bauran energi terbarukan 23% (2025), faktanya di sektor listrik baru 12%, dan secara keseluruhan hanya 8.55%. “Jadi pembangkit energi baru terbarukan baru di angka 10.156 megawatt atau 10 gigawatt. Kira-kira 1/7 dari total pembangkit terpasang,” ucapnya.
Disisi lain, kaitannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dan strategi pemulihan ekonomi hijau (green economic recovery), yaitu pemulihan ekonomi yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan ditengah ancaman krisis iklim, Indonesia harus bergerak cepat.
Sembari menunggu pemerintah, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulkan beberapa ide. Salah satunya, percepatan pengembangan energi terbarukan tenaga surya melalui metode lelang terbalik untuk mendapatkan teknologi terbaik dan harga energi terendah yang ditawarkan oleh pengembang listrik swasta.
“Mekanisme ini terbukti efektif mendorong peningkatan pembangkitan listrik energi terbarukan dan mampu menurunkan harga secara drastis di beberapa negara,” mengutip IESR dalam laporan ENERGI KITA Sepuluh Tahun Tersisa.
Selain itu, pemerintah juga dapat mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan melalui penyediaan lahan untuk jangka panjang (50 tahun).
![]() |
Kebutuhan listrik 3000 TWh, dibutuhkan PLTS berkapasitas 1800 GWp (sumber: David F. Silalahi) |
Minim Penggunaan
Felix Utama menyayangkan bahwa dari 150 megawatt produksi PLTS, hanya 10% yang berasal dari rooftop solar (panel surya diatas rumah). “Disini kita bisa lihat bahwa progress solar energy, kebanyakan dimotori oleh proyek skala besar dari pemerintah,” terangnya.
Ini sangat memprihatinkan, mengingat potensi rooftop PV di Indonesia sangat besar. Setelah dihitung, produksinya antara 30 – 120 gigawatt. “Belum mencakup skala utilitas tadi,” katanya.
Sementara itu, dari 90% tenaga surya yang ground mounted, sebesar 2/3 adalah off grid atau tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional. “Saya gak bilang ini jelek, karena off grid PV penting untuk meningkatkan elektrifikasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah terpencil,” ucap Felix.
![]() |
Kebutuhan lahan seluas 1.92 juta Km2, hanya muat untuk 0.6% solar PV. (sumber: David F. Silalahi) |
Jika menggali lebih dalam, Felix menyebut, ada banyak alasan mengapa masyarakat belum menggunakan energi surya. Pertama, karena rendahnya kesadaran terkait penggunaan energi baru terbarukan. “Ini bisa dilihat dari sedikitnya penggunaan rooftop PV,” katanya.
Selain itu, pemerintah belum menganggap ini sebagai isu penting. “Karena tidak mendatangkan vote saat pemilu. Jadi political will pemerintah masih kurang untuk meningkatkan penggunaan listrik tenaga surya,” paparnya.
Ketika kesadaran masyarakat dan political will tidak bisa diandalkan, satu-satunya cara adalah menunjukkan potensi keuntungan ekonomi, ketika masyarakat beralih ke energi surya.
Kendati demikian, keberpihakan pemerintah tetap dinantikan. Itu sebabnya, Felix mengharapkan adanya kebijakan subsidi, keringanan pajak, fit in tarif dan solusi yang sifatnya scientific, yakni menggunakan material terbaru yang lebih baik.
“Untuk menurunkan dampak ekonomi, kita perlu panel baru yang ringan dan mudah diinstalasi. Kita butuh panel yang lebih efisien dibanding yang ada sekarang,” katanya.
Fakta lainnya, pengadaan rooftop PV bukan hanya terkait harga, namun didominasi hal lain, seperti: perizinan, inspeksi, pajak, profit, harga pemasangan, harga struktur kerangka dan balance of system lain, termasuk sistem inverter.
“Kesimpulannya disini, kita perlu menurunkan harga ini, agar dampak ekonominya lebih positif kepada pengguna residential PV,” kata Felix.
Edward Kosasih juga setuju adanya tantangan baru terkait pengadaan rooftop PV, meskipun memiliki umur panjang (25 tahun). Tantangan itu tidak semata-mata terkait harga, namun ada faktor lain, seperti: perizinan, konstruksi, yang dikenal sebagai balance of system.
Jika ingin fokus, Edward menyinggung soal sistem monitoring dan kontrol, meskipun prosentasenya lebih kecil dibandingkan total biaya. Karena itu, ia menyebut naturnya panel surya sebagai investasi yang besar di awal.
“Setelah terpasang, biaya pemeliharaannya cukup kecil. Karena tinggal didiamkan saja selama 25 tahun,” katanya.
Ini yang menyebabkan, pemilik PLTS rumahan cenderung sepele tarhadap hal-hal kecil yang bisa berdampak besar di kemudian hari. “Salah satunya, tidak memasang sistem monitoring dan kontrol yang baik. Sayang, jika baru berapa tahun, sistemnya tidak berfungsi dengan baik,” papar Edward.
![]() |
Kapasitas potensi solar PV di Indonesia 536 GW. (sumber: Felix Utama Kosasih) |
Masa Depan
Bagi David Silalahi, energi surya menjadi sangat dominan dalam penyediaan pasokan listrik di masa depan. Hal itu harus dilakukan, jika ingin menyukseskan transisi dari energi fosil ke energi yang ramah lingkungan.
“Ntah itu targetnya 23% di 2025 atau 31% di 2050, bahkan 100% juga bisa, dengan sejumlah alasan rasional, yakni potensi sinar matahari kita bagus dan tersedia sepanjang tahun. Tidak ada winter seasonseperti di negara-negara 4 musim,” kata David.
Selain itu, Indonesia memiliki lahan yang bisa dimanfaatkan, baik daratan ataupun perairan (danau, laut, waduk). Juga memiliki potensi baterainya yang sifatnya alami (pumped hydro-storages) sehingga kekhawatiran terkait baterai telah terjawab.
“Bagaimana jika matahari tidak bersinar, bagaimana jika tertutup awan. Kita pakai baterai untuk menyuplai kebutuhan listrik kita,” katanya.
Sementara itu, Sarah A Firnadya menekankan tentang baterai yang sifatnya renewable energy. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa meningkatkan penetrasi renewable energynya dan tidak menimbulkan instabilitas.
Hal lainnya, terkait elektrifikasi di seluruh desa di Indonesia. Menurutnya, pemerintah perlu mengimplementasikan off-grid power plant. “Ini penting, agar seluruh daerah punya akses listrik 24 jam dan bisa menjalankan ekonomi disana,” katanya.
![]() |
PLTS membutuhkan lebih banyak SDM yang berkualitas. (sumber: Edward E. Kosasih) |
Khusus terkait sumberdaya manusia, Edward mengingatkan hal itu. Menurutnya, mengoperasikan PLTS kapasitas 100MW membutuhkan sedikitnya 100 orang untuk pra-operasi (pemasangan sistem) dan sesudahnya perlu 19 orang untuk monitoring sistem.
Dari sisi pekerjaan, PLTS tidak hanya didominasi oleh insinyur teknik. “Engineer hanya 18% dari total SDM yang dibutuhkan. Sisanya adalah bidang legal, finance, health, environment expert,” terang Edward.
Belum lagi, saat PLTS beroperasi, dibutuhkan banyak SDM, termasuk yang berperan sebagai quality control. Karena itu, renewable energy membuka lapangan pekerjaan.
“Kami sendiri jika boleh curhat, saat menemukan banyak masalah di lapangan, ingin mencari teman-teman yang mau bergabung. Karena butuh banyak sekali tenaga terampil di bidang ini,” pungkasnya. (end)