bocah-bocah bermain di Sungai Alaha, Sulawesi Tenggara. Foto : Yos Hasrul/Beritalingkungan..com |
FINLANDIA, BL-Sekarang ada alasan lain untuk kembali ke alam. Anak yang tumbuh dalam lingkungan pedesaan cenderung kurang mengalami alergi.
Lingkungan yang kaya spesies mikroba ramah yang menjajah tubuh melindungi kita terhadap gangguan inflamasi. Kehidupan pedesaan meningkatkan resistensi alergi. Anak-anak yang tumbuh di dekat alam lebih kebal terhadap alergi karena keragaman bakteri pelindung kulit.
Temuan memperkuat teori bahwa kontak dengan bakteri di awal kehidupan sangat penting untuk pengembangan sistem kekebalan tubuh manusia.
Mikroba kulit terkait dengan keragaman lingkungan alam sepertinya mengajarkan tubuh untuk menenangkan reaksi alergi.
“Ini alasan lain bagi perencanaan ruang hijau di kota-kota,” kata Ilkka Hanski, ekolog University of Helsinki di Finlandia.
Penurunan keanekaragaman hayati di perkotaan dapat merusak kesehatan penduduk dengan memusnahkan beberapa sekutu terkecil umat manusia.
“Kami mengusulkan terutama anak-anak dengan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati benar-benar penting untuk pengembangan sistem kekebalan tubuh,” kata Hanski seperti dilansir pnas dan jurnal kesimpulan.
Hanski mengeledah 118 remaja Finlandia yang menghabiskan seluruh hidup dalam satu tempat yaitu kota kecil atau pedesaan. Remaja yang tumbuh di dekat hutan atau tanah pertanian lebih sedikit mengalami reaksi alergi bila terkena koktail alergen. Hidup di pedesaan menyediakan kekayaan gammaproteobacteria genus Acinetobacter.
Kelas bug ini ditemukan di mana-mana, dari akar tanaman hingga lubang hidrotermal laut, yang bermain dalam sistem kekebalan tubuh. Remaja yang kaya Acinetobacter, sel darah berisi lebih IL-10, membuat sebuah molekul anti-inflamasi yang membantu memblokir respon alergi.
“Jika apa yang mereka cari adalah suatu sebab dan tidak konsekuensinya, ini benar-benar menakjubkan,” kata Rook Graham, imunolog University College London.
Graham menunjukkan respon alergi dapat mengubah kulit dan bakteri, bukan sebaliknya. Karena bakteri mungkin juga terhirup dan termakan, proses mungkin juga bekerja dalam usus, bukan pada kulit. Penelitian lebih lanjut dari populasi manusia lain diperlukan untuk melihat apakah temuan Finlandia juga berlaku di tempat lain*