JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns mengatakan Uni Eropa sangat mendukung semua pihak untuk terlibat dalam wacana iklim, sebagai bentuk inklusi iklim. Untuk itu, suara masyarakat yang menjadi kelompok rentan perlu diperhatikan, termasuk perempuan dan anak muda.
“Mereka jadi bagian karena mereka yang paling terdampak, misalnya kehidupan nelayan di Semarang, Jawa Tengah. Saya melihat ada tantangan tersendiri untuk komunitas pesisir yang mata pencarian dan rumahnya semakin terdegrasi,” ungkap Lambert dalam sambutannya.
Untuk itu, Kedutaan Belanda terus menguatkan masyarakat melalui kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil, dalam berbagai program untuk membangun dan meningkatakan kapasitas mereka selaku kelompok rentan.
“Kami melakukan advokasi bagi kelompok perempuan, anak muda dan juga petani kecil dalam diskusi-diskusi terkait iklim,” ujarnya.
Menurut Grijns, baru-baru ini mereka meluncurkan tiga proyek yang semuanya ditujukan untuk menguatkan kelompok masyarakat sipil. “Salah satunya berfokus pada inklusifitas dan aksi untuk iklim yang lebih baik,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Director Oxfam Indonesia Maria Lauranti menyebutkan, pihaknya berkomitmen untuk berkontribusi menurunkan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Caranya dengan bekerja bersama perusahaan dan negara-negara yang punya output global agar konstribusi yang diberikan dapat optimal.
“Kami juga bekerja dengan kelompok perempuan. Kami mewakili suara mereka karena menurut kami mereka sangat penting untuk membangun resiliensi dan juga menyusun solusi dari perspektif gender & perspektif inklusi sosial, baik dalam desain maupun implementasi berbagai strategi untuk mengatasi masalah-masalah iklim,” ungkapnya.
Oxfam yang mewakili suara banyak pihak, yakin bahwa pendanaan iklim seharusnya dapat diakses sehingga mendukung kesiapan dan mitigasi iklim. Selain itu, pendanaan harus mampu mengcover kerugian dan dampak yang dirasakan oleh kelompok paling rentan, disamping memastikan kesetaraan gender.
Maria menambahkan, sesuai data Oxfam, krisis iklim berdampak pada mereka yang mengalami marginalisasi kegiatan ekonomi khususnya di Asia dan ini berarti, ada 2,4 miliar orang terdampak dari kawasan Asia saja.
Kelompok rentan, menurutnya, merasakan dampak terberat akibat peristiwa bencana alam. Sehingga sangat penting untuk melihat apa yang bisa dilakukan dalam memberikan solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
Senada dengan Laura, Executive Director of Non-Timber Forest Products-Exchange Programme Indonesia Jusupta Tarigan mengatakan, saat ini ada kebutuhan yang semakin besar untuk mengatasi ancaman perubahan iklim. Juga ada ketimpangan sosial, karena ketimpangan sosial mulai banyak dibahas dalam inklusi iklim.
“Kalau kita lihat gerakan-gerakan seperti SDGs dan juga keadilan lingkungan hidup, maka inklusi iklim ini mencoba menjawab kebutuhan dari kelompok-kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan,” paparnya.
Menurut pria yang akrab di sapa JT itu, inklusi dalam iklim sangat penting karena akan menjawab isu terkait efek perubahan iklim, sekaligus memastikan aksi-aksi iklim yang manfaatnya terasa secara merata untuk semua kelompok di masyarakat.
Pernyataan JT diamini oleh Mohammad Taqie, CSO Consortium on Climate Resilience. Menurut Taqie, inklusi adalah topik yang sangat penting dalam diskusi iklim. Pertama, inklusi memungkinkan kita memastikan aksi-aksi untuk menanggulangi konsekuensi perubahan iklim dilakukan secara adil dan merata.
“Kedua, inklusi berarti melibatkan semua pemangku kebijakan termasuk pemilik pemangku konsesi, ikut dalam perumusan, pelaksanaan pemantauan, dan evaluasi kebijakan,” tegasnya.
Dia juga menyoroti kaum disabilitas untuk dilibatkan dalam diskusi iklim. Pasalnya, penting untuk memiliki pemetaan yang akurat, mengenai penyandang disabilitas. “Kemudian melihat cara untuk menilai karakteristik kerentanannya, dan bagaimana melibatkan mereka,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)