![]() |
Kondisi Jack saat dirawat di BKSDA Aceh. |
Jack mendadak terkenal setelah kematiannya yang tragis. Kematian Jack adalah momen luar biasa bagi yang peduli.
Saya kira kematiannya bukan kebetulan. Jack dipaksa menjadi budak peradaban di abad ini. Peradaban dengan ekonomi kapitalis, laba demi laba. Jack mati diumur 3 tahun setelah demam tinggi.
Jack diciduk dari hutan, lalu diperjualbelikan. Ia sampai ke sebuah tempat rekreasi taman wisata buatan di Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar. Disekap dan dirantai dalam arena berisik dan bunyi-bunyi yang tak cocok. Bisa kita bayangkan bagaimana terasingnya ia dalam keramaian. Tak ada buah ara untuk dimakan, juga tak ada pucuk pohon yang ranum. Ia dipaksa makan pepaya dan pisang hingga mimisan. Sejak saat itu ia ingin mati saja.
Jack kesepian dalam bising, tak punya kekasih untuk bercumbu. Hidup hanya terentang sepanjang bekas lilitan rantai pada kaki. Ia rindu kali kecil dan ayunan liana di pohon ficus. Sinting atau tidak, apa yang menimpa Jack adalah sebuah isyarat, manusia tengah memasuki zaman kebakhilan. Dan Jack, mungkin terpaksa onani sepanjang hidupnya.
Benarkah arena rekreasi yang mempertontonkan kelucuan yang sebenarnya tak lucu begitu berarti bagi bangsa manusia hingga mengorbankan species lain? Benarkah begitu penting “kebengisan”? Dengan ironi yang dahsyat.
Manusia, dengan kemampuannya merayakan kebakhilan, mencoba menaklukan kehidupan liar. Masyarakat pun latah dan menerima hasrat untuk ”memiliki”. Manusia telah menganggap Orangutan seperti Jack sebagai sebuah barang untuk dijadikan modal. Satwa liar menjadi barang kapital.
Kematian Jack adalah pesan, bahwa manusia sangat bakhil. Tak tergugah oleh kesengsaraan makhluk lain selain dirinya. Maka biarlah Jack bicara dalam sunyi kepada kita yang tak mau mengerti; “Dengan sengaja bangsa manusia mempraktikkan kebuasannya, benar-benar buas. (Afrizal Akmal).