JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Staf Ahli Bidang Perencanaan Strategis Kementerian ESDM & Chair Energy Transitions Working Group (ETWG) G20 Yudo Dwinanda Priaadi mengatakan forum ekonomi dunia G20 merupakan ajang yang sangat berpengaruh, tidak hanya terkait dengan respon global terhadap pandemi dan dampak krisis keuangan yang terjadi saat ini, namun juga mencakup sejumlah hal yang lebih luas, seperti global health dan digital economy.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara pada kegiatan Editor Meeting secara virtual dengan tema “G20: Masa DepanEnergi Berkelanjutan” yang digelar The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) pada Sabtu (9/4) lalu.
Menurut Yudo, pertemuan tingkat tinggi itu juga membahas soal transisi energi dimana secara global anggotanya menguasai perdagangan dunia. Setidaknya ada tiga negara produsen terbesar migas yang merupakan anggota G20 yakni; Amerika Serikat, Rusia dan Arab Saudi. Karena itu, Indonesia ingin mendorong transisi energi yang lebih bersih dan berpihak pada lingkungan.
“Kita perlu usaha mendongkrak pembangkitan energi bersih dan mendorong energi efisiensi. Karena energi diperlukan semua pihak saat ini,” katanya.
Selain itu, Yudo menekankan soal pergeseran paradigma, yakni bagaimana menggunakan energi secara efisien dan selalu tersedia sepanjang waktu. Karena itu, setiap negara perlu mengoptimalkan penggunaan sumber energi yang tersedia dan ramah lingkungan. Ada perubahan pekerjaan yang sedang dilakukan secara global, termasuk Indonesia.
“Terakhir terkait dengan proyek baru energi terbarukan, efisiensi ujungnya kita butuh real investment, karena tanpa investasi (hijau) nyata laju energi akan lebih lama,” kata Yudo.
Senada dengan itu, Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menyebutkan transformasi ekonomi merupakan hal penting yang berkaitan langsung dengan energi terbarukan.
Melalui inisiatif ekonomi hijau, Indonesia harus fokus untuk mendatangkan investasi yang tidak lagi merusak lingkungan namun dapat menurunkan emisi.
“Sektor energi menjadi vehicle untuk kita mencapai upaya transformasi ekonomi. Harapannya ini menjadi bagian utama dalam RPJMN kita di 2025-2045,” ungkapnya.
Lebih jauh, Medrilzam menekankan bahwa KTT G20 harus dimanfaakan dengan baik, utamanya untuk mendorong terwujudnya ekonomi hijau di Indonesia. Ekonomi yang berpihak kepada lingkungan dan masyarakat.
“Kita dorong bersama, bukan hanya Indonesia, namun komitmen semua negara yang tergabung. Teknologi dan Investasi menjadi kata kunci, karena percuma tidak akan ada transisi energi tanpa dua kunci ini,” ungkap Medrilzam.
Sementara itu, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum menjelaskan bahwa saat ini energi menjadi kebutuhan dasar manusia.
“Kebutuhan dasar bukan lagi sandang pangan dan papan. Tapi juga kebutuhan energi seperti listrik. Ini akan menjadi dua tambahan masalah pembangunan,” katanya.
Citra menegaskan, sebagai penghasil emisi dominan di seluruh dunia, 75% negara-negara G20 belum sesuai dengan konsekuensi yang mereka timbulkan. Negara berkembang masih banyak yang mengejar pertumbuhan ekonomi, sehingga banyak aksi-aksi yang tidak sesuai dengan transisi energi maupun adaptasi dari konsekuensi krisis iklim.
“Indonesia termasuk negara yang dinilai oleh Climate Action Tracker sebagai negara yang aksi iklimnya masih perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Menurut Citra, Climate Action Tracker tidak hanya menilai dari sisi energi dan power system saja, namun juga dekarbonisasi, sistem transportasi, kehutanan, lahan dan lain-lain. “Sehingga bisa memberikan gambaran lengkap tentang kondisi Indonesia dalam menurunkan emisi.” katanya.
Sebagai informasi, G20 adalah kelompok informal dari 19 negara dan Uni Eropa, serta pewakilan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB). G20 merupakan forum ekonomi utama dunia yang memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili sekitar 65% penduduk dunia, 79% perdagangan global, dan setidaknya 85% perekonomian dunia.
Saat ini, negara-negara anggota G20 adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerma, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki dan Uni Eropa. (Jekson Simanjuntak)