JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kemitraan Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) yang tergabung di dalam Komunitas Peduli Krisis Iklim mengadakan webinar bertema “Inclusive and Collaborative Climate Actions under the Next Generation Leadership: NPS Contribution to Long-Term Development Strategy” yang berlangsung secara hybrid, di Jakarta, Selasa (9/11/2021).
Keterlibatan Non-Party Stakeholders (NPS) telah termuat dalam Lima-Paris Action Agenda dalam Conference of Parties ke-20 (COP20) di Lima, Peru, tahun 2014. NPS yang merupakan organisasi non-pemerintah selalu hadir di Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).
Webinar yang digagas NPS asal Indonesia itu mencerminkan semangat kolaborasi untuk menyelamatkan Bumi dengan seluruh pemangku kepentingan dan lapisan masyarakat. NPS, yang meliputi pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal, swasta dan akademisi adalah mitra pemerintah untuk mencapai komitmen iklim yang transparan, adil, dan inklusif.
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode Muhammad Syarif mengatakan acara tersebut memiliki arti penting bagi masa depan Indonesia dan tentu saja Bumi yang kita tempati saat ini.
‘Kita semua memiliki kesempatan dan peran untuk menangani perubahan iklim. Bekerja sama memastikan keberlanjutan Planet Bumi akan membawa dampak yang lebih besar bagi semua orang, terutama bagi generasi masa depan kita,” katanya.
Laode juga menjelaskan, aksi untuk menyelamatkan Bumi tak bisa dilakukan sendiri. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen iklim yang ambisius lewat beberapa dokumen kebijakan terkait iklim. Misalnya NDC (Nationally Determined Contribution), LTS-LCCR 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development), FoLU (Forest and Land Use) Net Sink 2030, serta LCDI (Low Carbon Development Indonesia).
Tantangan terbesar adalah bagaimana menjalankan kebijakan iklim tersebut dengan efektif. “Kalau melihat kondisi Indonesia, masalah yang paling penting adalah implementasi dari komitmen tersebut,” kata Laode.
Misalnya kita tahu jika kawasan konservasi atau pulau-pulau kecil dilarang ditambang. Untuk itu, kolaborasi dengan pemerintah lokal, bahkan dengan aktor non-negara untuk menghasilkan tata kelola yang lebih baik adalah kunci agar bisa memastikan tindakan iklim yang nyata.
Menurut Laode, masyarakat harus diajak dalam membuat undang-undang dan turut serta dalam perlindungan lingkungan. Peluang tersebut diperbolehkan dalam undang-undang lingkungan dan Paris Agreement.
“Pemerintah tidak punya pegawai yang menjangkau seluruh pelosok Indonesia, karena itu masyarakat harus dilibatkan dalam penanganan perubahan iklim. Bahkan dalam Paris Agreement, jelas diakui partisipasi masyarakat dalam NDC,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus bahu membahu untuk mewujudkan komitmen bersama.
Direktur Eksekutif Madani Nadia Hadad mengamini pernyataan Laode. Menurutnya, semua pihak perlu segera bergandengan tangan, karena setiap upaya yang dilakukan saat ini sangat menentukan masa depan Indonesia kelak.
Karena itu, kolaborasi antara pemerintah, pemerintah daerah, komunitas, dan sektor swasta dalam menangani krisis iklim perlu menjadi norma kehidupan. “Pemerintah daerah, masyarakat, bisa ikut membantu bersama-sama mencapai target pembangunan iklim,” katanya.
Hal lainnya adalah tata kelola yang lebih baik. Untuk itu harus disusun secara rapi sejak dari perencanaan kebijakan yang konsisten, terkoordinasi, dan bertingkat. Maka, identifikasi apa saja peluang yang bisa dimanfaatkan, serta fokus pada solusi yang efektif, adil, berkelanjutan, dan tanggap terhadap iklim menjadi penting.
Sehingga kebijakan bisa membuka peluang bagi aktor non-negara untuk terlibat, seperti masyarakat adat, anak muda, serta kalangan bisnis. “Semua pihak harus bekerja sama, mewujudkan NDC kita,” tegas Nadia.
Pemerintah lokal kemudian menjadi kunci bagaimana kolaborasi bisa tersebar ke banyak daerah dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pasalnya, pemerintah daerah adalah perwakilan pemerintah pusat yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan kerap menjadi pihak pertama yang menerima dan merespons dampak perubahan iklim pada skala lokal.
Salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Gorontalo. Kabupaten tersebut sudah memasukkan perspektif iklim dalam rencana pembangunan maupun penganggaran sejak 2017.
Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo menegaskan hal itu. Menurutnya, pemerintah daerah bisa membantu pemerintah pusat mencapai target-target perubahan iklim. “Pemerintah lokal bisa menciptakan peluang kerja sama yang kolaboratif dan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat setempat,” katanya.
Peluang tersebut dibuka dengan menjadikan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sebagai forum partisipatif yang melibatkan masyarakat adat, perempuan, akademisi, forum masyarakat, mitra pembangunan, dan sektor swasta. “Kami juga membuat sistem penganggaran agar mendukung lingkungan, 10 persen APBD dialokasikan untuk lingkungan,” kata dia.
Kerja lingkungan juga dikolaborasikan dengan daerah lain dalam kaukus LTKL. Pemerintah Kabupaten Gorontalo juga memperhatikan bagaimana ekonomi bisa selaras dengan lingkungan. Salah satunya melalui gagasan Green Climate Fund, pendanaan untuk usaha yang ramah lingkungan dalam pertanian.
Dengan kolaborasi multipihak, industri pertanian berbasis masyarakat dan memiliki nilai tambah diharapkan menjadi tulang punggung daerah. Sehingga masyarakat bisa beradaptasi dan melakukan mitigasi perubahan iklim.
Hal serupa juga terjadi di masyarakat adat. Ramlah (28), perempuan dari Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan menjelaskan bahwa hak laki-laki dan perempuan sama dalam pengelolaan hutan.
Sebagai ketua kelompok perempuan, Ramlah memobilisasi dan memotivasi kelompok-kelompok perempuan di masyarakat adat Kajang, berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam melindungi hutan. Pada 2016, Pemerintah Indonesia mengakui mereka sebagai masyarakat adat dan memiliki hak pengelolaan hutan adat.
Lewat program Perhutanan Sosial, perempuan bisa meningkatkan perannya dalam menjaga hutan berdasarkan kearifan lokalnya. “Kami juga bisa berkontribusi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui berbagai kegiatan ekonomi produktif tenun tradisional,” ujar Ramlah.
Salah satu usaha yang melibatkan perempuan dan ramah lingkungan juga dilakukan oleh DuAnyam. Produsen anyaman yang berbasis di Larantuka, Nusa Tenggara Timur itu memberdayakan perempuan lokal di sekitar hutan dan menggunakan proses sederhana yang ramah lingkungan dalam membuat produk mereka.
Pendiri DuAnyam Hanna Keraf menjelaskan bahwa salah satu produk mereka adalah memanfaatkan bahan baku serat alam lokal. Mereka juga melibatkan tenaga kerja yang merupakan masyarakat lokal, utamanya perempuan.
Saat ini, setidaknya 1.400 perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia bergabung dengan DuAnyam. Bersama masyarakat, DuAnyam menciptakan kerajinan berbasis komoditas lokal yang berkelanjutan sebagai model bisnis baru untuk mempromosikan pentingnya upaya konservasi.
Dengan memanfaatkan bahan baku dan tenaga kerja lokal, mereka mampu memangkas transportasi. Sehingga bisa ikut mengurangi emisi. “Bisnis dalam wujud social enterprise ini bisa ikut mengurangi risiko perubahan iklim yang bisa dirasakan masyarakat,” kata Hanna.
Sebagai generasi muda, perempuan 32 tahun itu melihat kaum muda penting untuk menyelamatkan lingkungan karena mereka yang akan mewarisi Bumi di masa mendatang. (Jekson Simanjuntak)