Banjir Mematikan di Sumatera, PPASDA: Alam Rusak Jadi Penyebab Utama

Bencana Berita Lingkungan Hutan Terkini

Banjir besar melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Foto : Instagram.com/@ditjen_imigrasi

JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM— Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA) menilai bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak bisa lagi dilihat semata sebagai dampak cuaca ekstrem.

Menurut PPASDA, kerusakan lingkungan yang masif menjadi faktor utama yang memperparah skala bencana. Direktur Eksekutif PPASDA, Irvan Mahmud, menyampaikan duka cita mendalam atas jatuhnya korban jiwa akibat bencana tersebut. Ia mendesak pemerintah untuk segera mengerahkan seluruh sumber daya dalam penanganan darurat, mulai dari pencarian korban hilang, percepatan evakuasi, hingga pembukaan akses jalan untuk distribusi bantuan.

“Kami prihatin atas bencana di sejumlah kabupaten dan kota di tiga provinsi tersebut. Negara harus hadir secara penuh untuk menyelamatkan warga terdampak,” kata Irvan dalam keterangan tertulis, Minggu (30/11/2025).

Irvan menegaskan, alasan klasik berupa curah hujan tinggi, kondisi geomorfologi yang curam, atau litologi tanah yang lapuk tidak boleh terus dijadikan pembenaran. Menurutnya, akar persoalan sesungguhnya adalah rusaknya lingkungan, terutama akibat pembabatan hutan, alih fungsi lahan, dan maraknya industri ekstraktif.

“Akumulasi kerusakan ini mengubah tutupan lahan, menurunkan daya tampung air, hingga mengubah bentuk sungai menjadi semakin sempit dan dangkal. Dampaknya, banjir dan longsor menjadi jauh lebih parah,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa bencana kali ini kembali meninggalkan luka mendalam. Tidak hanya rumah hanyut, listrik padam, dan jaringan komunikasi terputus, tetapi juga nyawa manusia melayang, termasuk anak-anak. “Nyawa tidak bisa dihitung dengan angka. Satu korban saja sudah merupakan tragedi,” kata Irvan.

Berdasarkan data BNPB yang dirilis Sabtu (29/11/2025), tercatat 303 orang meninggal dunia dan 279 orang hilang, yang hampir dipastikan juga menjadi korban jiwa. Namun, Irvan menilai pernyataan pemerintah yang kembali menempatkan cuaca ekstrem sebagai penyebab utama justru menunjukkan cara pandang negara terhadap bencana yang belum berubah.

PPASDA menggarisbawahi bahwa kerusakan hutan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur seperti sawit, serta praktik pertambangan ilegal telah menghilangkan kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya, saat hujan turun, air langsung menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke sungai dan memicu banjir bandang serta longsor.

“Citra satelit memperlihatkan tutupan vegetasi alami semakin berkurang. Padahal hutan dengan keragaman jenis tanaman memiliki daya serap air yang jauh lebih tinggi dibandingkan perkebunan monokultur atau lahan terbuka,” jelas Irvan.

PPASDA mendesak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk melakukan penyelidikan menyeluruh di seluruh wilayah terdampak. Penelusuran ini dinilai penting untuk mengungkap pihak-pihak di balik pembalakan liar, tambang ilegal, dan alih fungsi lahan yang melanggar hukum.

“Satgas ini diisi oleh pihak-pihak berwenang. Publik menunggu langkah tegas dan transparan,” tegas Irvan. Ia juga meminta agar setiap pelaku aktivitas ilegal ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Bahkan, PPASDA mendorong adanya moratorium perkebunan sawit dan kegiatan tambang di wilayah terdampak bencana. “Jika tidak ada evaluasi serius, tragedi serupa akan terus berulang dengan dampak yang jauh lebih besar,” katanya.

Menurut PPASDA, tanpa lingkungan yang lestari, kehidupan tidak akan berkelanjutan. Deforestasi, kenaikan suhu, dan krisis air adalah konsekuensi dari perencanaan pembangunan yang mengabaikan aspek ekologis.

“Masa depan yang berkelanjutan mensyaratkan pemulihan ekosistem. Tanpa itu, bencana hidrometeorologi hanya tinggal menunggu waktu,” pungkas Irvan (Wan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *