MERAUKE, BERITALINGKUNGAN.COM – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua melepasliarkan 320 satwa di Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke. Pelepasliaran itu merupakan puncak peringatan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day/ WWD) yang diperingati setiap tanggal 2 Februari.
Satwa yang dilepasliarkan adalah 300 ekor arwana Irian (Scleropages jardinii) hasil penyisihan kuota tangkap tahun 2021, 9 ekor kura-kura papua leher panjang (Chelodina novaeguineae) hasil translokasi dari DKI Jakarta tahun 2021, serta 3 ekor soa payung (Chlamydosaurus kingii) dan 8 ekor kadal lidah biru (Tiliqua gigas) hasil translokasi dari Sumatera Selatan tahun 2021.
Dokter hewan BBKSDA Papua, drh. Widya Bharanita Darmanto, menyatakan satwa-satwa translokasi dalam kondisi siap dilepasliarkan kembali ke alam. “Satwa-satwa itu telah menjalani proses habituasi di kandang transit Buper Waena, dengan pemantauan secara berkala,” ungkapnya.
Terkait arwana Irian, menurut Widya, alam telah menyediakannya sebagai bagian penting kekayaan keanekaragaman hayati di perairan selatan Papua, khususnya Merauke. Wilayah tersebut memiliki lahan basah yang terhampar luas, dan merupakan kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Wasur.
“Di garis waktu, arwana Irian telah mengalami perjalanan panjang, mulai dari perannya memenuhi kepentingan tradisional di masa lalu hingga komersial di era modern,” ujarnya.
Sejak lama, masyarakat yang bermukim di sekitar habitat ikan arwana Irian telah memanfaatkannya untuk konsumsi dan upacara adat tertentu. Pemanfaatan sumber daya secara tradisional biasanya bersifat alamiah dan tidak mengganggu populasi di alam.
Namun seiring waktu, Arwana Irian menjadi komoditas yang cukup menjanjikan. “Sampai titik ini, kiranya perlu kebijakan pemanfaatan arwana Irian oleh masyarakat agar tetap terjamin kelestariannya di alam,” terangnya.
Senada dengan itu, Kepala Balai Besar KSDA Papua, Edward Sembiring mengatakan, pihaknya telah menyisihkan kuota tangkap setiap tahun untuk dilepasliarkan. “Menurut saya ini bagian dari kebijakan pemanfaatan arwana irian untuk menjamin kelestariannya di alam,” ujarnya.
Edward juga menjelaskan bahwa masyarakat adat sebenarnya telah memiliki banyak nilai luhur atau kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sejauh ini nilai-nilai tersebut sangat mendukung kegiatan konservasi.
“Kearifan lokal terkait sasi dan totem, misalnya, merupakan contoh nilai-nilai konservasi yang berkembang di kalangan masyarakat adat dan telah diterapkan sejak zaman nenek moyang,” katanya.
Edward menambahkan, “Saya selalu hormat terhadap nilai-nilai itu, yang merupakan khazanah negeri kita dan terbukti sanggup menjaga alam sampai sekarang.”
Sejauh ini, kebijakan sasi dikenal cukup luas oleh kelompok-kelompok masyarakat adat di Papua. Sasi merupakan larangan memanfaatkan sumber daya di suatu wilayah adat tertentu dalam jangka waktu tertentu. Menurut Edwrad, sasi termasuk pola yang efektif dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Di sisi lain, totem memiliki daya tarik khusus, baik sebagai nilai konservasi maupun nilai adat. Peluangnya cukup tinggi bila dikelola menjadi bagian pendukung pariwisata minat khusus di area lahan basah Merauke.
“Kata totem sendiri sangat menarik perhatian, seperti dongeng purba dari antah-berantah yang tersesat di zaman modern,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)