JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Direktur Environment Institute Mahawan Karuniasa menjelaskan bahwa perubahan iklim, sesuai dengan namanya menunjukkan terjadinya perubahan dari iklim di suatu tempat. Bicara iklim, mirip cuaca yang dihadapi sehari-hari, seperti hujan, panas, dingin atau kering. Bedanya, iklim memiliki rentang waktu yang panjang dengan cakupan wilayah yang lebih luas.
Untuk mengetahui apakah iklim berubah atau tidak, para ahli menggunakan jangka waktu tertentu, yakni 30 tahun. “Sehingga jika 30 tahun lalu ternyata berbeda dengan 30 tahun sekarang, maka iklimnya dikatakan berubah,” terangnya.
Mahawan menambahkan, “Namun jika perbedaaannya antara tahun ini dan tahun kemarin, atau 10 tahun ini dengan 10 tahun lalu, itu bukan berubah iklimnya, tetapi disebut sebagai variabilitas iklim.” Ini menunjukkan bahwa iklim memiliki sifat yang dinamis.
Saat ini, dunia dan Indonesia sama-sama mengalami perubahan terkait iklim dalam jangka waktu yang lama. Secara global, mengukur perubahan iklim adalah ketika temperatur udara sehari-hari terasa lebih panas, atau suhu Bumi naik 1ºC.
“Bahasa sederhananya, yang tadinya adem sekarang jadi lebih panas. Itu kasusnya di dunia,” ungkapnya.
Khusus di Indonesia, hal serupa juga terjadi. Hanya saja karena Indonesia merupakan negara kepulauan, perubahan yang terjadi dibandingkan rata-rata suhu dunia, kenaikannya cenderung kecil. “Tetapi sama-sama memanas,” terang Mahawan.
Hal itu terjadi seiring penemuan teknologi baru. Kurang lebih 200 tahun lalu, manusia menemukan sejumlah inovasi yang berdampak pada kegiatan produksi. Kegiatan tersebut menghasilkan barang-barang yang diproduksi secara massal. Di sisi lain, konsumsi bahan bakar terus meningkat (bensin, gas, batu bara), mengakibatkan kesejahteraan ikutan naik.
“Akibatnya kesehatan makin baik, sehingga jumlah penduduk bertambah banyak. Hal itu mengakibatkan konsumsi BBM meningkat seiring barang yang juga meningkat,” katanya.
Dampak berikutnya terjadi pencemaran, dimana karbon atau emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan CO2 sebagai prosentase terbanyak naik ke atmosfer. “Nambah terus, numpuk disana berakibat pada sinar matahari yang terjebak di udara. Akibatnya suhu permukaan Bumi menjadi lebih tinggi,” ucapnya.
Hal itu akan terus terjadi jika manusia tidak mengurangi emisi GRK dengan cara mengubah perilaku di seluruh dunia. Pasalnya, semua orang tinggal di planet yang sama.
Perubahan Terjadi
Berhubung manusia memiliki keinginan, seringkali pembelian produk, tidak hanya yang dibutuhkan, namun yang diinginkan. “Jadi kita tidak nyebut kebutuhan tuh, tapi ingin. Padahal yang diinginkan belum tentu dibutuhkan,” kata Mahawan.
Oleh karena itu, di negara-negara maju yang lebih sejahtera, isu pencemaran dan emisi GRK menjadi perhatian besar dibandingkan di negara berkembang seperti Indonesia.
“Contoh paling gampang jika semua orang di dunia ingin hidup seperti orang Amerika, maka dibutuhkan 5 kali lipat Bumi. Seolah-olah butuh 5 Bumi,” ujarnya. Sementara jika gaya hidup kita seperti orang Jerman, maka dibutuhkan sedikitnya 3 Bumi.
“Kebetulan data tahun 2022 disebutkan jika Indonesia masih kurang lebih sama dengan sebelumnya (emisi). Jika orang dunia hidupnya seperti orang Indonesia, kita masih aman dengan satu Bumi,” jelas Mahawan yang juga Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Dengan demikian, negara-negara maju harus lebih bertanggungjawab terhadap emisi yang dihasilkan. Karena itu, negara-negara berkembang menuntut negara maju untuk mengurangi emisinya.
Sementara negara berkembang, menurut Mahawan, sangat membutuhkan bantuan. Jika tidak dibantu, negara tersebut tidak mampu mengurangi emisi GRK, termasuk beradaptasi menghadapi perubahan iklim.
“Jangan hanya kami, negara maju juga harus berupaya. Bahkan negara-negara berkembang di Afrika mengatakan jika mereka membutuhkan bantuan,” katanya.
Dampak perubahan iklim telah terjadi di Eropa ditandai dengan hadirnya gelombang panas, baru-baru ini. “Coba bayangkan jika kita datang kesana, tidak ada hotel yang pake AC karena disana memang sejuk dan adem. Disana cenderung kebutuhannya akan pemanas,” terang Mahawan.
Sementara di Indonesia, peningkatan suhu ekstrem jarang terjadi. Di Jakarta sendiri, suhu 37ºC sudah masuk kategori panas. Yang terjadi justru bencana banjir dan tanah longsor yang merupakan bencana Hidrometeorologi.
Banjir di perkotaan terjadi karena hujan esktrem, sementara di pedesaan kerap terjadi bencana longsor. “Banjir di Indonesia berpuluh kali lipat jika dibandingkan kondisi dulu. Itu yang terjadi di tahun 2000-an,” ucap Mahawan.
Ketika cuaca berubah, sejumlah pola ikut berubah, termasuk jadwal petani menanam padi dan waktu melaut bagi nelayan. Petani akan kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk menanam, sementara nelayan mengalami kesulitan menangkap ikan karena perilaku ikan yang menyesuaikan terhadap perubahan iklim.
“Sehingga muncul pertanyaan, kapan saya harus menangkap ikan dan dimana tempatnya?” paparnya.
Jika dibiarkan, hal itu berpengaruh terhadap pendapatan petani dan nelayan. Juga ikut berdampak terhadap sejumlah produk turunan, seperti memproses ikan atau pun mengolah produk-produk pertanian.
Mitigasi dan Adaptasi
Menurut Mahawan, ada dua hal penting yang harus dilakukan terkait perubahan iklim. Pertama adalah mitigasi agar perubahan iklim tidak terjadi. “Mengukurnya gimana saat kita menganggap itu sudah aman atau tidak,” katanya.
Sejauh ini, para ahli menggunakan ukuran yang terbilang mudah, yaitu jika suhu di muka Bumi tidak naik 1.5º C, maka dianggap aman. Jika kenaikannya lebih dari 1.5ºC, bencana sedang menanti.
Untuk itu, manusia harus melakukan aksi mitigasi atau menghambat agar emisi GRK yang masuk ke atmosfer tidak terus berlanjut. “Itu namanya mitigasi,” tegas Mahawan.
Langkah berikutnya, adaptasi atau penyesuaian. Contohnya, jika banjir terjadi, maka sebisa mungkin hindari tempat-tempat seperti itu. “Zaman dahulu tidak kepikiran soal tanggul. Saat itu orang malah ingin tinggal dekat sungai karena bisa mancing dan menikmati sungai,” jelasnya.
Yang terjadi sekarang, penduduk harus rela menyaksikan sungai di tanggul yang berarti beradaptasi atau menyesuaikan diri agar tidak terkena banjir.
“Semakin berhasil melakukan mitigasi untuk mengurangi GRK, semakin ringan upaya beradaptasi, karena banjirnya makin sedikit,” kata Mahawan.
Sebaliknya, jika gagal melakukan mitigasi, diprediksi banjirnya kian meluas. Situasi itu mengakibatkan kerugian berlipat ganda, karena biaya menjadi lebih mahal dan upaya menanggulanginya lebih rumit.
Dengan demikian, penting bagi negara-negara berkembang untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi agar emisi GRK tidak terus bertambah. “Itu sebabnya, sebagai negara berkembang kita kebagian adaptasi. Jika dianalogikan ada mobil, kita yang kena asapnya, sementara yang naik mobil adalah negara-negara maju,” papar Mahawan.
Lalu bagaimana kesepakatan menghadapi perubahan iklim di seluruh dunia? Menurut Mahawan, secara mudah, setiap negara diminta untuk memangkas secara drastis emisi GRK yang dihasilkan. “Kurang lebih harus dipangkas separuhnya saat ini,” ujarnya.
Imbauan itu menunjukkan bahwa semua negara sudah melampaui batas kuota emisi GRK yang tersedia. Jumlah emisi yang dihasilkan diperkirakan telah mencapai 2 kali lipat dari kondisi normal, sehingga masing-masing negara perlu mengurangi emisinya.
“Memangkas separuhnya itu tidak mudah, termasuk bagaimana cara membaginya. Itu tidak dibagi sekian dari masing-masing negara. Masing-masing negara menyampaikan usulannya sendiri-sendiri. Jadi bebas sebenarnya, namun mengikat setelah menyampaikannya di COP,” jelas Mahawan. Kebijakan itu merupakan komitmen terhadap dunia dan juga Bumi.
Dengan begitu, target penurunan emisi dari masing-masing negara tidak dibagi rata secara harfiah, namun berdasarkan komitmen. Hal itu tertuang dalam Perjanjian Paris (2015) dimana semua negara ikut bersepakat.
“Yuk kita kurangi emisi. Kita kurangi berapa? Kita harus mengurangi separuh. Oke karena itu, kita harus gotong royong di seluruh dunia. Negara maju seharusnya lebih besar dan memang demikian. Negara berkembang lebih kecil,” terangnya.
Uniknya, setelah dijumlah semua emisi yang bisa ditahan, ternyata masih belum cukup untuk memangkas separuh dari total emisi global. “Artinya masih kurang. Oleh karena itu, pertemuan yang lalu di Inggris dan tahun ini di Mesir, masih ngomong soal defisit. Masih membahas kekurangannya,” ujar Mahawan.
Kekurangan tersebut menjadi dasar negoisasi diantara negara-negara maju dan negara berkembang. Negara maju beranggagapan bahwa negara berkembang seharusnya ikut menambah pengurangan emisi. Sementara negara berkembang mendesak negara maju yang berperan aktif dalam menambah pemangkasan emisi.
“Jika penambahan gagal, berakibat pada kejadian banjir, angin puting beliung, longsor dan bencana lainnya lebih banyak,” ungkap Mahawan.
Khusus Indonesia, target capaian pengurangan emisinya berbeda dengan negara-negara lain. Indonesia di tahun 2030 telah berkomitmen kepada dunia untuk memangkas kurang lebih 1/3 emisinya. Itu artinya, pengurangan emisi yang ditarget mencapai 29% jika menggunakan ukuran angka.
Namun dengan kerja sama internasional, dimana negara-negara lain tertarik membantu akan sangat bermanfaat. “Itu dipersilahkan, karena membantu pengurangan emisi sebesar 41% atau hampir separuh. Kita berkomitmen seperti itu,” katanya.
Hanya saja, kebijakan pengurangan emisi di tingkat nasional belum diturunkan hingga ke level provinsi/ daerah. Padahal upaya pengurangan emisi harus dilakukan serempak dan kesempatan untuk melakukannya hanya 10 tahun, yakni sejak 2020 – 2030.
“Ini merupakan masa-masa emas bagi Indonesia untuk melakukan perubahan drastis,” papar Mahawan.
Hal itu akan berdampak terhadap bagaimana kita hidup, bagaimana berperilaku, termasuk berusaha dan membangun bangsa, sehingga di tahun 2030, pengurangan emisi mencapai target yang diinginkan. “Itu yang dikejar sekarang yang masih belum tercapai. Sehingga diperkirakan, ini posisinya belum aman.” katanya.
Mahawan menambahkan, “Apalagi sekarang para ahli menyebut perkiraan kita salah. Ternyata dampaknya lebih buruk dari yang dipikirkan.”
Bumi Kewalahan
Jika menggunakan rasio bagaimana Bumi menyediakan dan seperti apa kebutuhan manusia secara global, kebutuhan tersebut mencapai dua kali lipat. Artinya kebutuhan manusia sebesar dua kali dari apa yang mampu disediakan oleh Bumi.
“Di Indonesia hampir sama. Apa yang dibutuhkan manusia lebih besar ‘sedikit’ dibanding apa yang mampu disediakan Bumi. Kelebihan sedikit itu dikarenakan perilaku hidup manusia kota. Sehingga jika ingin harmoni dengan alam, maka tirulah orang-orang desa,” jelas Mahawan.
Di Jakarta misalnya, untuk pergi sejauh 5Km membutuhkan waktu lebih lama ketimbang di pedesaan. Alasannya karena macet dan jumlah populasi yang banyak.
Itu sebabnya, bicara perubahan iklim terkait dengan pengurangan emisi GRK dimana sumber utamanya berasal dari kota-kota besar, utamanya sektor transportasi, sektor listrik (menggunakan batu bara) dan sektor industri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Dari tiga sektor itu, menurut Mahawan, sejumlah terobosan bisa dilakukan. Di sektor transportasi, misalnya, bisa dilakukan dengan melakukan pertemuan secara virtual (online).
“Antara lain dengan pertemuan online, ini merupakan tindakan ramah lingkungan. Kita tidak perlu ketemu langsung di suatu tempat,” jelasnya. Kemajuan teknologi membuat pertemuan secara online bisa menghemat waktu, energi dan yang terpenting, tidak menghasilkan emisi.
Selain itu, masyarakat urban yang tinggal di kota besar bisa beralih menggunakan transportasi umum. Pemerintah kota seharusnya menciptakan “Kota 15 menit” dimana semua kebutuhan bisa selesai dalam 15 menit.
“Mau ke warung tidak lebih dari 15 menit. Mau ke sekolah cuma 15 menit. Ke kantor tidak lebih dari 15 menit, dan seterusnya. Jadi semua kebutuhan dalam jangakauan 15 menit dari siapapun yang ada di kota,” terang Mahawan.
Khusus perilaku sehari-hari, semua orang diimbau untuk memanfaatkan listrik sesuai kebutuhan dan lebih mengedepankan upaya penghematan. “Sebagai konsumen kita harus rasional. Jangan menjadi rewel dengan mematikan banyak perangkat, sehingga tidak bisa belajar atau tidak bisa bekerja. Semua harus dilakukan dengan rasional,” kata Mahawan.
Secara umum, negara-negara berkembang perlu mengurangi emisi meskipun tidak tidak sebesar yang dilakukan oleh negara-negara maju. Hal itu yang dimaksud sebagai keadilan iklim.
“Artinya, jangan sampai negara maju boleh terus menggunakan pemanas/ pendingin yang menggunakan energi lebih banyak, sementara disini kita disuruh mengurangi konsumsi listrik. Itu sebabnya keadilan perlu ditegakkan dalam hal perubahan iklim,” paparnya.
Ketika melakukan hal yang rasional, termasuk bergotong royong, Mahawan menyebutnya sebagai bentuk penghargaan, “Karena sama-sama di Indonesia dan diseluruh dunia saling menghargai, kita bekerjasama untuk itu,” (Jekson Simanjuntak)