Ilustrasi Bronchocela jubata or ‘Bunglon. Foto : Andi Muhlis/Flickr. |
Oleh : Muhammad Fathul Farikh Fauzy *
Indonesia menjadi salah satu negara dengan keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang begitu besar. Hal ini bisa menjadi potensi dalam artian sumbangsih positif namun juga menjadi sesuatu yang negatif.
Potensi yang positif antara lain: pusat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, ide-ide untuk eco tourism mudah untuk dikembangkan, potensi untuk menjadi pusat paru-paru dunia, dan juga pusat konservasi flora maupun fauna. Dilihat dari negatifnya: perburuan satwa, deforestasi, limbah dan pencemaran akibat industri. Efek negatif ini, mengarah pada kapitalisme dan eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pasar, yang tidak pernah habis.
Kementrian Lingkungan Hiduap dan Kehutanan (KLHK) mencatat, selama kurun waktu lima tahun saja, antara tahun 2000-2005, 1,87 juta hektar hutan telah rusak. Hutan yang rusak ini, masuk kategori hutan lindung, yang didalamnya juga menjadi habitat satwa yang dilindungi pemerintah. Tahun 2009, angka deforestasi, mencapai 1, 98 juta hektar, menurut KLHK.
Lebih jauh lagi, laju deforestasi setiap tahun di Indonesia adalah 1, 1 juta hektar, namun pertumbuhan hutan hanya sekitar, 0, 5 hektar per tahun. Selain ancaman deforestasi, ancaman polusi dan kebakaran hutan, juga sering terjadi.
Tidak hanya di daratan, di laut pun juga mengalami hal serupa. Ancaman seperti limbah, dan penangkapan sumber daya lautan secara tidak terkendali (over fishing dan perusakan terumbu karang) juga menjadi perhatian penting akhir-akhir ini. Lautan juga mengalami deforestasi, layaknya hutan, namun dalam bentuk dan dampak yang berbeda dengan yang di darat.
Alam dan Manusia: Hubungan Yang Tidak Pernah Stabil
Biodiversitas, berarti keaneka ragaman hayati. Bio berarti hidup, dan diversitas, diversity (dalam Bahasa Inggris), yang berarti beraneka ragam. Di alam juga terdapat batu, tanah, udara, dan komponen-komponen abiotik (yang tidak hidup).
Tentu biodiversitas sendiri, masih terjebak pada sesuatu yang hidup (mengacu pada kata bio) dan cenderung mengabaikan materi-materi yang tidak hidup. Jika plesetan, keaneka ragaman hayati, kemudian menjadi keseragaman hayati, maka yang terjadi adalah perubahan makna dan tujuan dari wacana ini. Bisa saja, yang hayat, yang bisa seragam, bisa juga yang seragam, berarti itu hayat (sesuatu yang hidup).
Salah paham bisa terjadi karena perbedaan bahasa dan pemahaman bahasa yang berbeda, apalagi dalam kasus ini, wilayah-wilayah konservasi berada di pedalaman, dan latar pendidikan masyarakat sekitar wilayah konservasi, juga belum bisa dikatakan baik. Belum lagi sudut pandang biodiversitas yang lahir di barat, dengan sudut pandang biodiversitas ala budaya setempat, mengalami tumpang tindih dan perbedaan pemahaman. Ujung-ujungnya, penerapan pun kerap kali menemukan kendala.
Beda cara berpikir, lalu muncul salah paham, juga bagian dari peran masyarakat untuk merumuskan biodiversitas yang pas menurut mereka sendiri, tujuannya mencari keseimbangan antara mereka dengan alam. Jacques Lacan akan bercerita, jika salah paham itu sendiri, tidak salah dan tidak buruk. Bisa jadi dengan salah paham, identitas masyarakat akan muncul, melalui refleksi diri.
Conrad Kottak, salah seorang ahli antropologi, yang menaruh perhatian pada masalah lingkungan, menyebut pertentangan antara kelompok environmentalis (cenderung mendukung pelestarian lingkungan) dan developmentalis (juga mendukung pelestarian lingkungan, namun lebih memposisikan diri, untuk merubah alam).
Conrad Kottak, tidak mempertimbangkan golongan abu-abu, dimana mereka sangat kondisional, mengikuti perubahan arus, antar dua golongan itu. Golongan-golongan itu, ada di kalangan masyarakat, pemerintah maupun pemerhati lingkungan.
Masyarakat abu-abu, pada prakteknya, mencari keamanan diri sendiri, karena mereka langsung berhadapan dengan alamnya sendiri. Ketika menerima sesuatu yang asing dari dia, cari aman ini, atau safety first, meminjam istilah James Scott, berarti, mereka akan memilih yang kiranya aman dan nyaman, membawa mereka pada keselamatan untuk mereka sendiri, tidak peduli apa kepentingan golongan, yang dijelaskan oleh Conrad Kottak tersebut.
Strategi ini pun semakin komplek ketika, keanekaragaman hayati, harus berhadapan dengan wacana tentang lingkungan seperti: pemanasan global, pencemaran dan limbah, deforestasi, perburuan satwa, kebakaran hutan. Wacana sosial-budaya juga menjadi tantangan buat wacana ini, seperti: migrasi penduduk, globalisasi, pasar bebas, dan kemiskinan, perang, ledakan penduduk.
Banyaknya wacana ini, membuat alam bukan lagi sesuatu yang tersistematis dengan pasti, karena campur tangan manusia, sudah menjangkiti berbagai niche (relung). Seperti jaring-jaring makanan, jika disempurnakan, jaring-jaring makanan bukan lagi soal, makan dan dimakan, hidup dan bertahan hidup, makhluk hidup satu dengan yang lain, namun juga pengaruh sosial-budaya yang makin
beragam.
Seperti dilansir oleh ozy.com, bivalvia atau keluarga kerang, mereka menyebutnya golden mussel atau remis emas, menjadi hama baru. Dia telah merubah ekosistem Sungai Amazon, karena memakan mikroorganisme di air dalam jumlah besar. Hal ini mengganggu kestabilan jaring-jaring makanan. Hewan ini masuk ke amazon, dibawa manusia, melalui migrasi, tahun 1990. Hewan ini bukan satwa asli wilayah Amazon.
Mendekonstruksi Hubungan
Dekonstruksi, merupakan istilah Jacques Derrida, dimana ketika beberapa hal itu utama, akan diutamakan, maka yang lain akan dipinggirkan secara tidak langsung. Untuk itu, dekonstruksi berusaha melihat bagian-bagian, tidak lagi terpinggirkan dan tidak ada yang utama.
Jaring-jaring makanan pun, menjadi tidak selalu ditampilkan, dengan pola yang sama, perilaku produsen dan konsumen di setiap posisi pun, bisa berubah, karena wacana alam maupun sosial budaya, yang makin kompleks.
Terkadang masyarakat pun memberontak, tidak mengikuti kaidah kedua belah pihak, sebagai bagian dari upaya pencarian titik tengah, yang terbaik untuk mereka sendiri, yang terbaik untuk mereka sendiri tidak selalu berada di tengah atau pusat perhatian utama. Justru posisi tengah ini, seringkali mengabaikan wacana yang lain, yang ada di dalam masyarakat itu (wacana lingkungan dan wacana sosial-budaya, semakin kompleks saat ini).
Proses ini terus terjadi dan tidak pernah berhenti. Kalau pun ada penerimaan, semuanya tak lepas dari penolakan-penolakan kecil, yang tujuannya sama, yakni mencari titik tengah yang terbaik itu mereka sendiri.
*Penulis adalah Pemerhati Lingkungan dan alumni Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
–>