Trump Tarik AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris, Greenpress : Dunia Hadapi Tantangan Baru

Presiden Trump mengadakan konferensi pers ketika Badai Michael melanda minggu lalu. Foto : Reuters.
WASHINGTON, BERITALINGKUNGAN.COM – Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47, Donald Trump, kembali mengguncang dunia dengan keputusannya untuk menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Langkah kontroversial ini diumumkan oleh Gedung Putih pada Senin (20/1), hanya beberapa hari setelah pelantikan Trump.
“Presiden Trump akan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris,” bunyi pernyataan Gedung Putih, seperti dikutip dari Xinhua (21/1/2025). Keputusan ini direncanakan akan diresmikan melalui perintah eksekutif, bagian dari visi Trump untuk “Membuat Amerika Terjangkau dan Dominan Energi Lagi” (Make America Affordable and Energy Dominant Again).
Dalam pidato pelantikannya, Trump menegaskan fokusnya pada eksplorasi bahan bakar fosil. “Kita memiliki cadangan minyak dan gas terbesar di dunia, dan kita akan memanfaatkannya,” ungkap Trump dengan nada penuh keyakinan. Ia juga menyebut energi bersih sebagai sesuatu yang “mahal dan boros.”
Dampak Global dan Jejak AS di Perjanjian Iklim Paris
Perjanjian Iklim Paris, yang diadopsi pada Desember 2015, merupakan komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celsius. AS sendiri, sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tertinggi di dunia, memegang peran penting dalam upaya ini.
Namun, komitmen AS terhadap perjanjian ini mengalami pasang surut. Pada masa kepemimpinan Trump sebelumnya, AS secara resmi keluar dari Perjanjian Paris pada November 2020, hanya untuk kembali bergabung di bawah pemerintahan Joe Biden pada Januari 2021.
Kini, langkah Trump untuk sekali lagi menarik AS keluar dari perjanjian tersebut menimbulkan kekhawatiran besar. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada kredibilitas AS di panggung internasional, tetapi juga mengancam upaya global dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.
Krisis Iklim dan Respons Dunia
Penarikan AS dari Perjanjian Paris dipandang sebagai pukulan besar bagi perjuangan kolektif melawan perubahan iklim. Sebagai salah satu penghasil emisi terbesar, partisipasi AS sangat penting untuk mencapai target global.
Aktivis lingkungan dan pemimpin dunia pun menyuarakan keprihatinannya. “Ini adalah langkah mundur besar dalam melawan krisis iklim dan dunia akan menghadapi tantangan baru pasca Trump menarik AS keluar dari perjanjian iklim,” kata Direktur Greenpress Indonesia, Igg Maha Adi kepada Beritalingkungan.com (21/01/2025).
“Dunia tidak bisa menunggu. Tindakan harus segera diambil, bukan diundur.”ujar Adi yang juga co Founder Indonesian Reporters Alliance fir Climate (In Race) ini. In Race adalah lembaga yang bernaung di bawah Greenpress Indonesia yang fokus pada isu perubahan iklim.
Adi berharap negara lainnya termasuk Indonesia dan Uni Eropaterus berkomitmen untuk tetap melanjutkan perjuangan. “Kita tahu Uni Eropa, misalnya, telah memperkuat target iklimnya untuk mencapai netralitas karbon pada 2050, terlepas dari langkah AS,”ungkapnya.
Babak Baru Pertarungan Energi
Sekjen Greenpress Indonesia, Marwan Aziz menilai kebijakan Trump yang pro-fosil menunjukkan bahwa tantangan terbesar dalam menghadapi perubahan iklim tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada komitmen politik.
“Langkah ini kembali mempertegas bagaimana politik domestik AS dapat memengaruhi nasib seluruh planet, Pemerintah AS mendorong kita untuk melestarikan hutan guna demi keseimbangan iklim global, tapi Trump malah mengiring AS keluar dari perjanjian iklim yang sudah disepakati” ujar Marwan.
Marwan mengungkapkan kondisi planet bumi saat ini semakin mengkhawatirkan setelah badan-badan iklim internasional, termasuk NASA dan NOAA, menyatakan bahwa tahun 2024 adalah tahun terpanas dalam sejarah. Suhu global rata-rata tercatat meningkat hingga 1,5°C dibandingkan era pra-industri, mendekati ambang batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
Meskipun ambang batas ini belum resmi terlampaui karena dihitung berdasarkan rata-rata beberapa tahun, para ahli memperingatkan bahwa pencapaian target tersebut semakin sulit. “Batas 1,5°C ditetapkan bukan untuk kenyamanan, tetapi sebagai keharusan untuk mengurangi kerugian dan penderitaan manusia akibat dampak perubahan iklim,” kata Joeri Rogelj, ilmuwan iklim dari Imperial College London.
Kini, dunia menanti bagaimana langkah-langkah negara lain, organisasi internasional, dan masyarakat global dalam menghadapi ancaman besar yang ditimbulkan oleh keputusan ini. Perjuangan melawan perubahan iklim harus terus berlanjut, meskipun jalan di depan tampak semakin sulit terlebih setelah Trump menarik AS keluar dari perjanjian iklim (Mutma).