Ilustrasi kedelai. Foto : Antara |
JAKARTA, BL-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempertanyakan, rencana dan target pemerintah untuk swasembada tanaman pangan strategis di tahun 2014, sebagai bentuk keberhasilan pemerintah.
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) memandang, target pemerintah khusus untuk swasembada kedelai, itu tidak realistis.
“Merujuk pada rencana pemerintah yang akan melakukan swasembada tanaman pangan strategis, salah satunya kedelai pada tahun 2014 menjadi pertanyaan besar apakah benar dapat dicapai?,” kata Officer Advokasi dan Jaringan KRKP, Said Abdullah dalam pernyataan resminya yang diterima Beritalingkungan.com, Rabu (25/7).
Ayip sapaan akrab Said Abdullah memaparkan beberapa alasan. Pertama, swasembada dicapai dengan mengasumsikan bahwa lahan yang dipakai untuk memproduksi setidaknya mencapai 1.7 juta ha.
Untuk mencapai ini, maka optimalisasi lahan kering dan rawa ditingkatkan selain lahan sawah. Persoalannya optimalisasi lahan kering dan rawa masih mengalami tantang luar biasa, selain terjadinya rebutan lahan dengan sektor perkebunan juga daya dukung infrastruktur dna pembiayaan masih rendah.
Selama ini, sambungnya, produksi kedelai ditumpukan pada lahan sawah yang biasanya digunakan pada saat jeda musim tanam padi. Lahan sawah sendiri saat ini terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan yang massive.
Menurut data BPS, setiap tahun rata-rata konversi sawah mencapai 110 ribu ha. Padahal, laju pencetakan sawah baru tidak lebih dari setengahnya setiap tahunnya. Hilangnya sawah berarti hilang pula lahan untuk tanaman kedelai.
Kedua, target swasembada tiga tanaman pangan utama. Soal swasembada, pemerintah menargetkan pada tahun 2014, kebutuhan padi, jagung, dan kedelai dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Keinginan swasembada ini menjadi persoalan, mengingat lahan yang digunakan adalah sama. Hingga saat ini, di lahan produktif yang ada selain padi bersaing pula kedelai dan jagung untuk ditanam.
“Menjadi tidak realistis, ketika jagung dan kedelai diharapkan swasembada, sementara lahan yang digunakan hanya pada tempat yang sama. Peningkatan produksi jagung, secara otomatis menurunkan produksi kedelai,” tutur Ayip.
Hal ini dapat dilihat dari data BPS, berdasar angka ramalan I tahun 2012, produksi jagung meningkat dari 17 juta ton padat tahun 2011 menjadi 18 juta ton tahun 2012. Sementara produksi kedelai mengalami penurunan, dari tahun 907 ribu ton tahun 2010 menjadi 851 ribu ton tahun 2011 dan diprediksikan 310 ribu ton.
Dari hitungan, hingga tahun 2014 diproyeksikan produksi kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi mencapai 1.5 ton/ha dari sebelumnya yang hanya 1.3 ton/ha (per hektar). Dus, artinya, pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini maka impor diasumsikan tidak lagi diperlukan.
Dengan produksi tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, Terdapat defisit produksi hingga 1,9 juta ton untuk mencapai 2.7 juta ton. Dengan waktu yang kurang dari tiga tahun defisit itu menjadi tantangan yang cukup berat. Dengan hitungan sederhana maka setiap tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1.4 juta ton.
Ketiga, tata niaga pasar. Selain lahan, persoalan lain yang dihadapi adalah adanya kecenderungan penurunan jumlah petani yang membudidayakan kedelai. Saat ini di jawa timur, yang merupakan salah satu lumbung kedelai Indonesia, sudah banyak petani yang beralih ke kacang hijau.
Menurut petani, hal ini dilakukan karena pasca panen dan tata niaga kacang hijau jauh lebih mudah dan menguntungkan. Harga kedelai dalam negeri terus mengalami tekanan oleh kedelai impor. Selama tahun 2011, bea masuk impor kedelai 0 persen alias gratis. Situasi ini tentu saja memukul produk domestik yang berujung pada penurunan gairah para petani untuk menanam kedelai.
“Menjadi naïf, ketika swasembada didorong sementara keran impor dibuka lebar. Dukungan dalam bentuk insentif harga dan input sedikit sekali dilakukan,” tandas Ayip. (Herawatmo).