JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Pulau Kalimantan merupakan penghasil batu bara terbesar di Indonesia, dimana 86% produksi nasional berasal dari sini. Tingginya aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan jasa lingkungan dan mengganggu kehidupan satwa liar, padahal Kalimantan merupakan pulau yang kaya dengan keanekaragaman hayati.
Kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan, setidaknya terdapat 35 unit tambang batubara yang masing-masing luasnya lebih dari 10.000 ha. Lokasinya berada di radius 25 km dari kawasan konservasi.
Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim Perkumpulan AEER Iqbal Patiroi mengatakan, ada 5 spesies masuk kategori critically endangered di dalam dan di sekitar kawasan pertambangan dalam radius 25 kilometer.
Spesies tersebut adalah Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Hopea rudiformis, Pongo pygmaeus (orangutan kalimantan), Aquilaria malaccensis (gaharu), dan Sphyrna lewini (hiu kepala martil).
Sementara itu, data keanekaragaman hayati GBIF menjelaskan bahwa spesies-spesies dengan tingkat kerentanan critically endangared ditemukan pada 7 perusahaan tambang kajian, yaitu PT Insani Baraperkasa, PT Multi Harapan Utama, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Indobara Semesta, PT Singlurus Pratama Coal, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Persada Berau Jaya Sakti.
“Sejumlah 33 spesies tingkat kelangkaan endangered; dan 69 spesies kelangkaannya kategori vulnerable, hidup di dalam dan sekitar kawasan pertambangan,” tegas Iqbal. Beberapa spesies tersebut adalah Nasalis larvatus (bekantan) dan Helarctos malayanus (beruang madu).
Sementara itu, aktivitas pertambangan PT Kaltim Prima Coal dan PT Indominco Mandiri dianggap berkontribusi terhadap penurunan daya dukung habitat orangutan hingga sebesar 60% .
“Jika mengacu pada data tutupan lahan tahun 2019 dari KLHK, aktivitas pertambangan pada 19 perusahaan tambang kajian berpotensi memberikan ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove,” terangnya.
Perusahaan tambang tersebut adalah PT Amanah Putra Borneo, PT Arutmin Indonesia, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Coal, PT Berau Indobara Semesta, PT Borneo Indobara, PT Delma Mining Corporation, PT Indominco Mandiri, PT Insani Baraperkasa, PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Lanna Harita Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Perkasa Inakakerta, PT Persada Berau Jaya Sakti, PT Santan Batubara, PT Singlurus Pratama, PT Sumber Daya Energi, dan PT Tambang Damai.
Kemampuan serapan karbon ekosistem mangrove sekitar pertambangan dapat mencapai angka 245.028,37 ton karbon per tahun, melebihi kemampuan PLTB Tolo di Jeneponto, Sulawesi Selatan yang hanya mereduksi 160.600 ton karbon.
Jika aktivitas tambang batubara di sekitar ekosistem mangrove tetap berlanjut, kemampuan daya serap karbon akan mengalami penurunan sebagai akibat dari degradasi ekosistem mangrove.
Aktivitas pertambangan telah mengubah bentang lahan dalam skala besar serta melepaskan polutan yang merusak ekosistem yang menampung ribuan spesies flora dan fauna. Pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan merusak faktor iklim mikro seperti temperatur dan curah hujan.
“Pembukaan lahan yang dilakukan menghilangkan berbagai jasa lingkungan dan memberikan pengaruh buruk kepada kualitas kehidupan,” papar Iqbal.
Iqbal menambahkan, aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan perlu dikurangi dan dihentikan, disertai proses transisi yang berkeadilan bagi seluruh pihak dan lingkungan.
Disamping itu, upaya restorasi dan rehabilitasi pada setiap kawasan pertambangan harus dilaksanakan dan dikawal secara ketat dan serius agar dapat membentuk ekosistem yang berkelanjutan.
“Dengan demikian, satwa liar dapat hidup dengan aman di alam bebas dan menjalankan peranan ekologisnya sehingga lingkungan kehidupan tetap berada dalam kondisi atau keadaan yang seimbang,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)