Susur Sungai Sekonyer bersama kader konservasi Taman Nasional Tanjung Puting. Foto : Beritalingkungan.com/ Marwan Azis
Berkunjung ke Kotawaringin Barat, sepertinya tak lengkap tanpa mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting, yang menjadi habitat berbagai jenis satwa endemik Kalimantan seperti orangutan borneo dan Bekantan.
Areal konservasi yang memiliki luas kawasan lebih dari 400.000 hektar itu, tak hanya menawarkan pesona hutan hujan tropis. Bentang aliran Sungai Sekonyer yang berkelok-kelok tepat berada di daerah penyangga kawasan taman nasional juga menawarkan pengalaman menarik bagi pengunjung.
Karenanya saya tak menyiayiakan ajakan seorang kawan untuk berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting. Perjalanan dimulai dari Kota Pakalang Bun menuju Pelabuhan Kumai untuk menyeberang ke Tanjung Puting. Selanjutnya kami menggunakan perahu cepat (speedboat) berkapasitas lima penumpang milik Balai Taman Nasional Tanjung Puting.
Biasanya tarif speedboad sekitar Rp 500.000 sekali jalan. Perjalanan hanya sekitar satu jam. Alternative lainnya adalah menggunakan perahu kelotok yang berkapasitas 10 orang atau lebih dengan tarif Rp 400.000-Rp 1 juta per hari. Perahu kelotok ini juga dipakai menjadi tempat menginap bila ingin menikmati hawa malam Sungai Sekonyer dan Taman Nasional Tanjung Puting.
Perjalanan susur sungai dihari pertama kami tempu sekitar 1 jam perjalanan. Sesampai di resort Pesalat, speedboat yang kami tumpangi berhenti. Kami pun melanjutkan perjalanan berjalan kaki menyusuri hutan menuju lokasi acara pelatihan kader konservasi yang diselenggarakan Balai Taman Nasional Tanjung Puting. Di sinilah kami menginap selama semalam.
Perjalanan susur sungai keesokan harinya kami lanjutkan bersama puluhan kader konservasi dengan menggunakan perahu kelotok selama sekitar 3 jam menuju menuju Camp Leakey, habitat terbesar orangutan borneo menjadi pengalaman menyenangkan.
Sepanjang perjalanan terlihat lebatnya vegetasi hutan nipah dan mangrove, semakin ke ke hulu, vegetasinya pun semakin rapat khas tipikal hutan hujan tropis yang masih perawan.
Di kiri-kanan sungai terlihat kawanan bekantan dan monyet ekor panjang berlompatan di dahan-dahan pohon yang menjulang seragam. Pemandangan seperti ini bisa kita saksikan sekitar jam 5 sore. Suara mesin perahu kelotok plus para penumpang yang terdiri atas puluhan kader konservasi se-Kabupaten Kotawaringin Barat mendominasi sepinya hutan tropis Tanjung Puting.
Siang itu Sungai Sekonyer terlihat berwarna seperti susu coklat, akibat lumpur tailing tambang emas liar di hulu sungai. Sebagian aliran sungai yang awalnya memiki air benih kehitaman berubah menjadi coklat susu, yang memberi pertanda air Sungai Sekonyer sudah tercemar.
“Dulunya air disini seperti cola-cola, bening kehitaman, tapi kini telah berubah menjadi warna coklat susu. Ikan-ikan disini banyak ditemukan mati karena sungai tercemar,” kata Ariyadi, warga Sekonyer yang sehari-hari bekerja di Yayasan Pencinta dan Penyantun Taman Nasional (Friends of National Parks Foundation- FNPF). Pertambangan emas dan pasir silikon rakyat diduga menjadi penyebab utama tercemarnya sungai dulu yang menjadi urat nadi kehidupan warga pedalaman jantung Kalimantan itu.
Air Sungai Skonyer bening kehitaman hanya bisa disaksikan ketika memasuki daerah hulu, mendekati area Camp Leakey, lokasi di mana 41 tahun lalu Prof Birute Mary Galdikas, Ilmuwan Asal Kanada yang memprakarsai penelitian dan konservasi orangutan Kalimantan. Kini Ibu Birut memilih menghabiskan masa tuanya di Pasir Panjang, Pangkalan Bun sembari tetap mengupayakan dan mendukung pelestarian orangutan Kalimantan dan habitatnya.
Wisata susur sungai bisa dilakukan dengan menggunakan speedboad atau jasa perahu kelotok yang disewakan warga setempat. Namun lebih asyik bila menggunakan perahu kelotok, karena laju perahu kelotok yang lamban memberi kita kesempatan untuk mengamati atau memotret bekantan dan panorama hutan hujan tropis sepanjang sungai.