JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) Zainal Arifin Fuad, mendesak pemerintah mengadopsi UNDROP atau Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan yang telah disahkan 18 Desember 2018.
Hal itu diungkapkan Zainal pada sesi diskusi “Peran Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) sebagai Alat Perjuangan dalam Menegakkan Kedaulatan Pangan di Indoesia serta Aktualisasinya di Era Covid-19 dan Pasca Covid-19”, beberapa waktu lalu.
Menurut Zainal, UNDROP harus dimaksimalkan sebagai sarana untuk penegakan hak asasi petani, pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia. Selain itu, ada 28 pasal di UNDROP, di antaranya tentang kewajiban negara, hak atas sumber daya alam, dan hak atas tanah.
“Konsep kedaulatan pangan dalam UNDROP juga diperlukan sebagai reaksi atas ketahanan pangan yang sudah gagal,” tegas Zainal.
Laporan SOFI di tahun 2020 menjelaskan, 130 juta orang diprediksi akan kelaparan, dan mayoritas yang terdampak adalah petani. Bahkan catatan khusus menyebut ada 619 juta orang yang kelaparan di tahun 2019.
“Ini menjadi urgent mengingat terjadi krisis di dalam krisis, yang terjadi akibat adanya pandemi covid-19,” papar Zainal.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebut UNDROP merupakan hasil keputusan PBB yang secara resmi mengesahkan Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas – UNDROP).
Disahkannya UNDROP sebagai instrumen HAM diputuskan oleh resolusi 73/165 Majelis Umum PBB, yang diadopsi terlebih dahulu oleh Dewan HAM PBB di Jenewa pada tanggal 28 September 2018 melalui resolusi A/HRC/RES/39/12.
Karena UNDROP merupakan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara khusus mengatur tentang pengakuan, pemenuhan dan perlindungan yang melekat pada petani dan seluruh masyarakat di pedesaan, Henry Saragih menyebut UNDROP memang lahir dari kampung-kampung di pelosok Indonesia.
“UNDROP ini memang berasal dari petani, dari hasil diskusi-diskusi petani di lapangan, dari para petani yang tanahnya tergusur, dari petani yang memuliakan benihnya,” papar Henry
Lanjut Henry, ini yang mendorong mereka merumuskan hak petani, mengacu pada pertanyaan tentang mengapa hak petani dirampas atas dalih pembangunan dan mengapa petani tidak boleh menentukan cara pertaniannya sendiri.
“Jadi dulu semasa Orde Baru apabila ada petani yang tidak menggunakan bibit yang dianjurkan pemerintah, maka itu tidak diperbolehkan. Ini yang tidak bisa dibayangkan oleh generasi muda saat ini, apakah itu bibit, apakah itu metode pertaniannya sendiri,” ujar Henry.
Bahkan menurut Henry, “dulu petani sangat dikekang sekali bagaimana cara bertaninya, harus mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh pemerintah”.
Lalu di tahun 2001, dalam Konferensi Pembaruan Agraria, di mana ada Komnas HAM, SPI dan gerakan agraria terlibat untuk memperjuangkan kaum tani. Hal itu didasarkan atas sejarah panjang diskriminasi petani dan pelanggaran hak-hak dasar mereka.
“Hasil itulah kita bawa ke Jenewa, ke Dewan HAM. Awalnya kita bertujuan ini harus menjadi sebuah kovenan untuk petani, tetapi pada prosesnya kita berhasil menjadikannya sebuah deklarasi,” ujar Henry.
Menurut Henry, dari awal prosesnya, usaha mereka telah memakan waktu 17 tahun. “Namun terhitung sejak awal perumusannya, ini sudah berumur 25-30 tahun,” pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisioner Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menegaskan jika Indonesia membutuhkan pangan. Dan untuk mengantisipasi krisis pangan, Taufan Damanik meminta negara menjamin hak-hak petani.
“Maka dari itu penting memang untuk mendorong UNDROP sebagai solusi, apalagi Indonesia menjadi anggota dewan HAM PBB,” ujar Taufan Damanik.
Menurut Taufan hal itu penting, mengingat pandemi covid-19 akan menimbulkan resesi global, dan berdampak pada petani Indonesia.
“Saya sangat setuju kepada statemen presiden yang harus menjadikan petani dan sektor pertanian sebagai tulang punggung menghadapi krisis,” sambungnya.
Oleh karena itu, Taufan Damanik mendesak agar UNDROP segera diadopsi dalam kebijakan di tingkat nasional.
“Mungkin ini yang bisa diturunkan ke depannya, mengenai bagaimana menjadikan pasal-pasal UNDROP lebih kontekstual di tingkat daerah. Ini yang harus didorong agar menjadikan prinsip-prinsip UNDROP sebagai norma,” tegasnya.
Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) Agung Hendriadi yang hadir sebagai narasumber menyebut kedaulatan pangan dan kemandirian pangan menjadi sebuah landasan, termasuk ketika membuat sistem pangan nasional sesuai UU Pangan No.18/2012.
“Mengenai ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19, BKP bersama kementerian pertanian sudah mengantisipasinya, seperti menyerap hasil pertanian dari petani, juga memastikan lumbung pangan di daerah-daerah,” ungkapnya.
Bahkan menurut Agung Hendriadi, telah ada program pertanian keluarga dengan memanfaatkan pekarangan, agar masyarakat dapat mencukupi pangannya sendiri. “Hal ini paling tidak mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk pangan,” paparnya.
Sementara itu, Gustav Sirait dari Kementerian Luar Negeri tidak menampik jika Indonesia sebagai pencetus UNDROP dan telah mendapat dukungan Dewan HAM PBB.
“UNDROP yang diajukan di tahun 2018, awalnya mau jadi kovenan dan kini menjadi softlaw, meskipun tidak mengikat secara hukum, tetapi mengikat secara moral. Ini lebih menyeramkan lagi jika kita bisa dicap tidak bermoral,” ungkapnya.
Menurut Gustav, kebijakan luar negeri Indonesia mendukung dekade pertanian keluarga PBB 2018 – 2028, yang mengangkat pentingnya kontribusi keluarga petani dan kesejahteraan petani.
“Dalam konteks ini, Indonesia telah mengorganisir konferensi regional tentang penguatan ketahanan pangan, nutrisi dan kesejahteraan petani, pada April 2019 yang menghasilkan komunike bersama mengenai pertanian, termasuk pentingnya kesejahteraan petani, khsusunya perempuan dan pemuda,” pungkasnya.
Selama ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama-sama organisasi masyarakat sipil dan pegiat agraria menjadi pihak yang sejak awal mengajukan UNDROP ke PBB, yakni ‘Deklarasi Hak-Hak Asasi Petani Indonesia’ yang terdiri dari 8 Bagian, dan 67 pasal.
Selain meminta pemerintah mengadopsi UNDROP, SPI ingin mengajak seluruh petani di Indonesia untuk menggaungkan UNDROP sebagai alas perjuangan petani dalam cita-cita pelaksanaan reforma agraria serta kedaulatan pangan. (Jekson Simanjuntak)