JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) menilai Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam Editor Meeting #2 “Build Back Better: Mengawal Omnibus Law dan Moratorium Sawit Demi Keberlangsungan Lingkungan” yang menghadirkan sejumlah narasumber, seperti: Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Teguh Surya, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero.
Ketua SIEJ Rochimawati saat membuka kegiatan editor meeting menyebut pengesahan UU yang lebih cepat tiga hari dari jawdalnya itu telah menuai penolakan dari berbagai kalangan, termasuk pemerhati lingkungan.
“Sejumlah pegiat lingkungan dan akademisi menilai produk UU tersebut memiliki dampak buruk terhadap lingkungan serta memudahkan investasi yang tidak ramah lingkungan,” ujar Rochimawati.
Akibat penolakan itu, ribuan buruh, mahasiswa dan pegiat lingkungan melakukan aksi besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Mereka menolak pengesahan UU tersebut dan mendesak Presiden segera mencabut UU tersebut.
“Indonesia seharusnya berbenah karena masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengelola sumber daya alamnya, dengan tetap menjaga lingkungan berkelanjutan,” kata Rochimawati.
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring mengamini jika Undang-Undang Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan yang terjadi saat ini, khususnya soal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Kami menilai, perlindungan lingkungan akan baik jika akses partisipasi masyarakat tetap diberikan. Seperti akses menggugat ke ranah hukum. Peran masyarakat dalam menggugat AMDAL, merupakan esensi partisipasi masyarakat yang di UU Cilaka berkurang sangat signifikan,” kata Raynaldo pada Sabtu (17/10).
Lebih lanjut Raynaldo menilai UU Cipta Kerja telah melemahkan akses atas informasi dan akses partisipasi. Ketika UU tersebut menghapus Komisi Penilai Amdal (KPA) dan menggantinya dengan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat, maka lingkup masyarakat dalam penyusunan AMDAL terbatas. Hal itu diperparah ketika akses informasi hanya melalui media elektronik.
Kajian ICEL menemukan bahwa hilangnya KPA akan berpotensi menjauhkan akses informasi, baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah. Hal itu akan menyulitkan, terutama ketika akses teknologi informasi dalam menyusun AMDAL. sulit dijangkau.
Temuan ICEL lainnya berkaitan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “UU Cipta Kerja mengubah batas minimal 30% luas kawasan hutan yang harus dipertahankan,” kata Raynaldo.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Teguh Surya mengingatkan bahwa terdapat sedikitnya 3,5 juta hektar tutupan hutan alam di dalam izin sawit.
“Ini persoalan serius dengan perubahan pasal dalam UU Cipta Kerja tidak ada penekanan soal pembukaan hutan alam. UU Cipta Kerja tidak mampu mendorong dengan iklim di Indonesia akan ada penggundulan hutan sawit dan melebihi kuota,” kata Teguh.
Dengan adanya potensi ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel sebesar 17,4 juta kiloliter pada 2024, maka target maksimal deforestasi dalam NDC sektor kehutanan sebesar 3,25 juta hektar terancam tidak tercapai.
Teguh menambahkan, produktifitas sawit perkebunan rakyat juga masih jauh tertinggal dibandingkan swasta. Omnibus Law ditengarai akan berpihak pada ekspansi dibandingkan intensifikasi.
“Mana lebih urgent UU Cipta Kerja atau legalitas lahan masyarakat diakui dan hitung ulang model dan bagi hasil yang kami anggap timpang,” kata teguh.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh dan Sumatera Barat merupakan empat provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam dengan luasan terbesar di luar peta indikatif penundaan pemberian izin baru.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero mengatakan dengan tegas bahwa Kalimantan Barat tidak akan memberikan izin baru demi mengawal moratorium sawit.
“Untuk yang sedang terjadi sekarang, kebijakan di pemerintah Kal-Bar untuk mengawal moratorium sangat tegas dan tidak ada izin baru,” ujar Heronimus.
Saat ini, moratorium sawit masih berlangsung sejak Presiden RI Joko Widodo menerbitkannya pada 19 September 2018 yang berlaku selama tiga tahun. Moratorium itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018.
Inpres tersebut diterbitkan dalam rangka peningkatan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberi kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan Gas Rumah Kaca, serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Sayangnya, saat memasuki tahun kedua, pelaksanaan moratorium belum menunjukkan kemajuan signifikan untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit bahkan cenderung kembali ke business as usual. Selain itu, perkebunan sawit terbukti belum mendatangkan keuntungan di level kabupaten dan provinsi. (Jekson Simanjuntak)