Ilustrasi, kayu jati bersertifikasi ekolabel FSC di Konawe Selatan. Foto : Dok JAUH/Beritalingkungan.com |
Pengusaha kayu di Jogjakarta membuktikan, kayu bersertifikat mulai diterima pasar. Butuh waktu mendidik pasar. Masyarkat adat dapat terlibat lewat community forest
Banyak cara yang dilakukan untuk mengkolaborasikan bisnis dan kelestarian lingkungan hidup salah satunya adalah pengadaan koperasi simpan pinjam seperti yang dilakukan Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan CU Karisma Taliasih di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Ketua KWLM, Bernadus Saad Windratmo, di acara “REDD+ Untuk Menguatkan Ekonomi Rakyat dan Masyarakat Adat di Indonesia” (07/11) mengatakan tahun 2008 dibentuk KWLM yang didirikan oleh 11 desa di dua kecamatan yaitu Samigaluh dan Kalibawang, ” Tujuannya adalah untuk membangun hutan rakyat di Kulon Progo tetap lestari tapi pendapatan masyarakat sekitarnya juga meningkat,”katanya.
Koperasi simpan pinjam itu dikolaborasikan dengan hutan rakyat yang tetap lestari, “Luas 13 hutan rakyat di Kulon Progo naik 2,5 persen dari tahun 2010 sampai 2011 karena koperasi ini,” ujarnya, “Di Kecamatan Temon luas hutan rakyat dari 799,75 herktare naik menjadi 804,25 hektare.”
Menurut Windratmo, anggota koperasi boleh menebang kayu di hutan rakyat lalu menjualnya, “Syaratnya kalau potong satu pohon harus tanam sepuluh pohon,” katanya. Menebang pohon seperti jati , mahoni dan sonokeling ada minimal diameternya yaitu 25 cm, kalau albasia minimal 20 sentimeter.
Windratmo menjelaskan, sampai Desember 2011, sudah ada 417 hektare luas lahan yaang diinventarisasi. Terdiri dari pohon jati 330 m3, mahoni, 365 m3, albasia 285 m3, dan sonokeling 48 m3.
Ia juga mengatakan kayu yang ditebang harus dengan status sudah disertifikasi dan volume tebangannya minimal 25 m3 per bulan, “Masyarakat bisa langsung sms kalau hutan sudah siap panen ke pengelola KWLM, lalu pengelola akan melakukan survey potensi, lokasi dan prakiraan harga, ya dibikin mudah saja,” ujar Windratmo.
Jadi, anggota akan menyetorkan kayunya pada pengelola KWLM, lalu pengelola akan mendistribusikan kepada para buyer. Sampai saat ini sudah ada tujuh perusahaan yang selalu siap menampung kayu-kayu tebangan masyarakat.
Ada lagi pengusaha yang mengembangkan bisnis furniture kayu berwawasan lingkungan di Jogjakarta. “Hasil dari hutan rakyat bisa jadi furnitur yang green,” ujar Direktur KWaS Furniture Manufaturer, Robertus Agung Prasetya.
Berbisnis kayu bukan hal mudah, “Produksinya lama, bahan bakunya susah , karena itu bentuknya harus bisnis kreatif. Ada nilai plusnya seperti menawarkan furniture yang hijau,” katanya. Ia mengatakan, di perusahannya yang sudah berdiri sepuluh tahun ini, bahan baku yang dipakai adalah dari kayu hutan rakyat dan kayu dari Perhutani. Menurut Agung, kayu Perhutani satu kubiknya bisa beda 200 ribu rupiah lebih mahal daripada kayu hutan rakyat.
Di Industri kayu ini, Agung mengatakan, belum ada pengusaha kayu yang menawarkan kayu bersertifikat FSI untuk pasar lokal, “Jadi bergerak di bisnis ini bukan sesuatu yang sulit, kami menawarkan kayu yang ada FSI-nya sehingga nilai jual lebih tinggi dimata project owner,”ujarnya, “Bulan Juli ini kami sudah mengantongi Sertifikat Sistem verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).”
Agung mengatakan, daripada sibuk ekspor lebih baik tumbuhkan pasar lokal, karena pasar lokal mencari kayu jati dan mahoni, sedangkan pasar ekspor dikasih kayu mangga dan kayu duren juga terima. Jadi, menurutnya, kayu yang bagus-bagus bisa untuk negeri sendiri, sisanya baru diekspor. Agung mengaku pernah menjual 40 pintu kayu dan furnitur untuk sebuah hotel di Jogjakarta dengan kayu bersertifikat FSI.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adar Nusantara (AMAN), Abdon Nababan menambahkan, kebutuhan masyarakat adat bisa dipenuhi oleh community forest, dan masyarakat adat bisa diajak bekerjasama asal hak mereka terpenuhi. Air dan udara segar tersedia, obat-obatan masih bisa diambil dari hutan, malahan bisa membangun mikrohidro. “Tapi pemerintah memperlakukan masyarakat sama seperti memperlakukan perusahaan, di tanah milik leluhur mereka sendiri saja mereka harus bayar,” kata Abdon.
Tetapi ia menambahkan, membuat community forest pada masyarkat adat tantangan terbesarnya adalah pembaruan hukum, “Jangan lagi pakai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan negara,”ungkapnya. (BELLINA ROSELLINI/IGG MAHA ADI).