
Gunung Semeru erupsi dengan tinggi letusan mencapai 900 meter di atas puncak pada Rabu (23/4/2025) pagi. Foto : PVMBG
LUMAJANG, BERITALINGKUNGAN.COM– Di balik kabut pagi yang menyelimuti kaki Gunung Semeru, alam kembali berbicara dengan suara yang tak bisa diabaikan.
Tepat pukul 06.28 WIB, Rabu pagi, langit di atas gunung tertinggi di Pulau Jawa itu berubah kelabu, memuntahkan kolom abu setinggi 900 meter di atas puncaknya. Di tengah keheningan, Semeru mengirim pesan keras: Ia masih terjaga.
Letusan itu tercatat mencapai 4.576 meter di atas permukaan laut, menyemburkan abu tebal ke arah utara. “Erupsi terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 22 mm dan durasi 123 detik,” jelas Sigit Rian Alfian, petugas Pos Pengamatan Gunung Semeru.
Nafas Bumi yang Tak Pernah Diam
Gunung Semeru bukan sekadar lanskap megah. Ia adalah makhluk hidup dalam skala geologi—menyimpan tenaga besar yang sesekali menggelegak ke permukaan.
Dalam 24 jam terakhir, aktivitas vulkaniknya didominasi oleh 35 kali letusan, diiringi gempa guguran, hembusan, dan bahkan gempa vulkanik dalam serta tektonik jauh. Ini bukan hanya angka, melainkan tanda dari proses geologis yang masih berlangsung di kedalaman bumi.
Seperti banyak gunung berapi di Indonesia, Semeru adalah hasil tabrakan lempeng bumi yang terus bergerak. Ia menandai pertemuan antara keindahan dan kehancuran, kehidupan dan risiko yang harus dikelola dengan bijak.
Hidup di Bawah Bayangan Kawah
Namun, cerita Semeru bukan hanya soal lava dan abu. Ini juga kisah tentang manusia—petani, nelayan, anak-anak sekolah—yang hidup di lerengnya, menyemai harapan di tanah subur hasil muntahan letusan masa lalu. Tapi hidup di bawah bayang-bayang kawah berarti juga hidup dengan kewaspadaan.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) masih menetapkan status Gunung Semeru di level Waspada (Level II). Warga dilarang beraktivitas di sektor tenggara sejauh 8 kilometer dari pusat erupsi dan harus menjauhi tepi sungai Besuk Kobokan hingga 500 meter. Di luar itu, radius tiga kilometer dari kawah pun menjadi zona berbahaya karena ancaman lontaran batu pijar dan awan panas.
“Warga juga harus mewaspadai potensi awan panas, guguran lava, dan lahar hujan, khususnya di sepanjang aliran sungai yang berhulu di puncak,” tambah Sigit seperti dikutip Beritalingkungan.com dari Antara (23/04/2025).
Merawat Ketangguhan Alam dan Manusia
Gunung Semeru, yang juga dijuluki Mahameru, tak hanya menjadi objek kekaguman para pendaki, tetapi juga simbol ketangguhan masyarakat sekitarnya.
Dalam setiap erupsi, mereka belajar untuk hidup berdampingan dengan alam, bukan melawannya. Sirine peringatan, peta evakuasi, dan edukasi kebencanaan menjadi bagian dari keseharian, seiring dengan suara burung dan derit angin pagi.
Melalui letusan demi letusan, Semeru mengingatkan kita bahwa keindahan alam Indonesia juga datang dengan tanggung jawab besar. Bahwa hidup berdampingan dengan gunung api bukan hanya perkara geografis, tapi juga spiritual—tentang memahami dan menghormati nafas bumi (Ant/BL).