![]() |
Ilustrasi dampak perubahan iklim. Foto : myessentia.com |
Banyaknya peristiwa bencana banjir, longsor, kekeringan, hingga penurunan muka tanah yang terjadi di Kota Semarang, menjadikan kota ini sebagai salah satu kota di Indonesia yang rentan bencana.
Hasil penelitian United Nations Population Fund (UNFPA) dan The International Institute for Environment and Development (IIED) yang dipublikasikan menyebut, Kerentanan akan terus meningkat seiring dampak perubahan iklim global di Kota Semarang yang dapat terlihat dari kenaikan suhu permukaan, kenaikan muka air laut dan perubahan pola cuaca yang ekstrem.
Penelitian oleh UNFPA tersebut menganalisis Peta Ancaman Bahaya yang dirilis BNPB dan Data Potensi Desa yang dikeluarkan BPS. Dari data di 16 kecamatan di Kota Semarang yang telah diidentifikasi sebagai daerah yang rentan terhadap perubahan iklim dilihat dari dataran rendah yang terkena banjir rob dan kenaikan muka air laut, permukiman di sepanjang sungai yang rawan terkena banjir, daerah perbukitan yang rawan terkena angin kencang, kawasan yang mengalami pergerakan tanah dan longsor, kawasan perumahan pinggiran kota yang jauh dari sumber air, kawasan pusat pergerakan dan transportasi (bandara, pelabuhan, stasiun kereta, terminal), kawasan kawasan perdagangan dan industri, dan kawasan perlindungan sejarah dan aset budaya.
Hasil analisis mengenai Semarang yang dinilai rentan bencana berdasarkan sejumlah temuan. Pertama, Semarang memiliki pantai dengan elevasi rendah, sebagaian besar Kota Semarang berada pada Zona Pantai Dataran Rendah atau LECZ, yaitu daerah dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. Kedua, Rasio ketergantungan penduduk yang tinggi terjadi di sebagian wilayah yang memiliki risiko banjir tertinggi. Rasio ketergantungan penduduk menggambarkan kelompok penduduk usia nonproduktif, yaitu di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. Hubungan ini sangat penting untuk memahami bahwa kelompok penduduk usia muda dan lanjut usia sangat rentan terkena dampak bencana banjir dan genangan air. Tantangan yang dihadapi adalah evakuasi untuk kelompok usia tersebut jika bencana terjadi dan kemungkinan terkena penyakit banjir dan genangan air.
Ketiga, risiko banjir tertinggi ada pada kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi. Sekitar 840 ribu penduduk Kota Semarang tinggal di dataran rendah dengan kepadatan penduduk rata-rata mencapai 10.201 jiwa/km2. Sebagian besar desa dengan kepadatan penduduk tinggi terletak di wilayah pantai dan pusat kota Semarang, seperti Bangunharjo, Jagalan, Sarirejo, dan Rejosari. Kondisi ini mengharuskan perlunya persiapan strategi evakuasi dan penyediaan tempat penampungan sementara.
Keempat, perubahan pola hujan dan kenaikan suhu memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan tanah dan meningkatnya kejadian tanah longsor. Umumnya kawasan metropolitan di Semarang memiliki risiko tanah longsor relatif kecil, namun untuk wilayah perbukitan di Kabupaten Semarang, risiko tanah longsor cukup signifikan.
Ibnu Sofyan, seorang peneliti dari Badan Informasi Geospasial juga menyatakan dua hal utama yang dihadapi Semarang yakni kenaikan muka air laut yang berakibat banjir rob dan penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah disebabkan juga oleh pola curah hujan yang tak tentu dan intrusi air laut yang meningkat karena semakin tingginya muka air laut. “Setiap tahun terjadi penurunan muka tanah. Data terakhir menunjukkan penurunan mencapai 10 cm. Tahun-tahun ke depan bisa semakin turun lagi,” jelas Ibnu Sofyan seperti dikutip Beritasemarang.com (Situs Sindikasi Beritalingkungan.com).
Rentannya Semarang terhadap bencana dampak perubahan iklim menjadikannya kota urban kajian perubahan iklim oleh UNFPA dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). “Hasil analisis ini menjadi refleksi terhadap kota urban lainnya di Indonesia untuk mencari ,” ujar Jose Ferraris, Perwakilan Indonesia untuk UNFPA. (Nonie Arnee/Ekuatorial/BS)