JAKARTA – BERITALINGKUNGAN.COM Pandemi Covid-19 telah menyadarkan publik bahwa pangan tetap menjadi kebutuhan seluruh penduduk Bumi. Dalam konteks ini, petani menjadi kunci utama pemenuhan kebutuhan pangan tersebut.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, dalam diskusi Obrolin Pangan #11 bertajuk: ‘Petani: Profesi yang (tak) Dirindukan Sarjana Pertanian’, menyebut kehadiran petani menjadi penanda kesehatan masyarakat akan terjaga.
“Hal ini mendorong petani untuk hadir menjadi garda terdepan bersama tenaga medis dalam menghadapi Covid–19,” ujar Said Abdullah.
Said Abdullah yang akrab disapa Ayip menyayangkan, kondisi pertanian di Indonesia masih jauh dari ideal. “Pertanian masih belum menjadi sektor yang digemari, digandrungi dan diutamakan setiap orang bahkan oleh sarjana pertanian,” tegasnya.
Data LPPM IPB mencatat, sarjana pertanian yang langsung terjun ke pertanian sangat sedikit. “Biasanya mereka muter dulu di sektor lain dan ketika mereka pede akan ke pertanian,” paparnya.
Survei KRKP tahun 2014 di Kediri, Tegal, Karawang dan Bogor, pada tanaman pangan dan hortikultura menunjukkan, ketertarikan pada produksi tanaman oleh anak muda hanya 37%, sedangkan hortikultura 46%.
Angka keluarga yang ingin anaknya meneruskan usaha pertanian di bidang hortikultura terlihat lebih tinggi dan ini wajar mengingat harga tanaman hortikultura lebih tinggi dengan durasi produksi yang lebih singkat. Sayangnya, disparitas angka peminatan tidak begitu jauh antara tanaman pangan dan hortikultura.
Survei juga mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi peminatan kaum muda pada bidang pertanian. Pertama, faktor jenis kelamin dimana laki-laki lebih berminat terjun ke pertanian dibandingkan perempuan.
Kedua, tingkat pendidikan. Ironisnya, survei mengungkapkan, semakin tinggi pendidikan, semakin rendah minat pemuda terjun ke pertanian.
Ketiga, adalah aktivitas utama. “Anak muda yang sudah terpapar pertanian akan tertarik untuk terjun,” jelas Ayip.
Keempat, adalah faktor luas kepemilikan lahan dan pendapatan. “Semakin tinggi luas lahan akan semakin tinggi juga kemauan anak muda kembali ke pertanian,” ungkapnya.
Sayangnya dari sisi pendapatan, survei mengungkapkan, pendapatan sektor pertanian masih kalah jauh dari sektor lain. Kesenjangan sektor pertanian dan non pertanian pada tahun 2013 menunjukkan besarnya jurang tersebut. Pendapatan sektor pertanian per kapita/tahun hanya Rp46 juta, sedangkan sektor lain mencapai Rp140-an juta/per kapita/tahun.
Untuk mendorong minat anak muda terjun ke pertanian, menurut Ayip, pemerintah perlu mengupayakan peningkatan akses dan kepemilikan lahan, peningkatan sarana dan prasarana, kepastian penghasilan dengan kebijakan harga yang baik, peningkatan pengetahuan tentang dunia pertanian, dan pembenahan dunia pendidikan.
Ogur Bahtiar, petani yang terjun di bidang tanaman padi, sangat senang jika banyak pemuda berpendidikan tinggi terlibat di sektor pertanian.
“Di lapangan sendiri, para pelaku on farm, kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan SD. Kami petani, ingin mahasiswa terjun ke on farm-nya, agar pertanian ini bisa digarap oleh orang yang memiliki ilmu lebih,” tegasnya.
Petani lainnya, Bambang menyebut, dukungan pemerintah seperti pelatihan dan kebijakan menjadi penting untuk menarik minat anak muda terjun di sektor pertanian.
“Tantangannya masih sama, masih tidak ada kemajuan dan masih mengikuti perkembangan orang tua. Tidak ada dukungan dari pemerintah untuk pelatihan dan lainnya. Bagaimana bisa meningkatkan minat pemuda?” ujarnya.
Minimnya ketertarikan generasi muda terhadap bidang pertanian, diakui Herdinda Arum Pradipta, sarjana teknologi pangan dari Universitas Pelita Harapan (UPH). Menurut Herdinda, ia terjun ke usaha pertanian karena berinteraksi dengan usaha pertanian yang dirintis orang tuanya.
“Ibu adalah salah satu pelopor ketahanan pangan dan kami ingin meneruskan usaha itu,” kata perempuan yang menggerakkan usaha pertanian lewat Griya Pangan Arum Ayu itu.
Bagi Arum, ketertarikan menjadi dasar saat memutuskan untuk terjun ke sektor pertanian. “Balik lagi ke diri kita, berdasarkan ketertarikan dan passion kita. Kalau bekerja sesuai passion, hasilnya akan lebih maksimal,” jelasnya.
Selain itu, bekerja di dunia pertanian, menurut Arum tidak harus bergabung di industri pangan skala besar. Bisa juga membantu petani secara langsung. “Saya yang bekerja di hilir ini bisa berhubungan langsung dan bekerja bersama petani”, pungkasnya.
Goklas Manullang, petani organik asal Sumatera Utara mengakui, terjun ke pertanian, khususnya pertanian organik, karena sebelumnya terlibat sebagai fasilitator untuk pemenuhan gizi keluarga.
“Saya melakukan penanaman, pembibitan, sampai pasca panen. Ada juga pelatihan pembuatan pestisida nabati yang kami sama-sama belajar dari petani.” ujar pemilik usaha pertanian Pamor Pemula Dairi ini.
Sementara itu, Uswatun Hasana, sarjana dengan latar pendidikan pertanian, justru belum menjadikan usaha pertanian sebagai profesi utama. “Saya sehari-hari bekerja di perusahaan di Kudus. Sebelumya saya pernah bekerja di Jakarta 6 bulan sebelum kembali ke Kudus,” ujarnya.
Meski demikian, dia tetap menjalankan usaha sampingan di bidang pertanian yaitu berkebun bersama komunitas Kreasi Sampah Ekonomi Kota (Kresek) di Kudus. “Keinginan saya, 100% terjun ke dunia pertanian. Tapi karena satu dan lain hal saya belum bisa,” ujarnya.
Pius Mulyono dari Lembaga Lestari Mandiri (Lesman), Boyolali, sangat senang jika ada anak muda (sarjana pertanian) yang terjun ke dunia pertanian. Sayangnya, menurut Pius, kebanyakan tidak melirik komoditas padi sebagai masa depan, namun memilih hortikultura dan perkebunan.
“Para pemuda khususnya sarjana pertanian tertarik ke tanaman yang cashflow di hortikultura, dan kalau mau ditarik lebih jauh, perkebunan seperti kopi, cokelat, memang lebih cepat uangnya,” ujarnya.
Sementara bagi Zaenal Abdullah, petani yang menekuni komoditas kopi, menganggap luasan lahan selalu jadi pertimbangan. “Kita bicara lahan sempit, ya, mengolah kopi. Kalau lahan luas kita pasti bertani,’ ujarnya.
Saat ini, tidak banyak anak muda, khususnya sarjana pertanian yang terlibat langsung di sektor on farm. Hal itu, menurut Ayip menjadi tantangan tersendiri. Namun hal lain juga harus diperhatikan, yakni kegiatan di sisi hilir. “Hal itu perlu agar inovasi dan pengembangan usaha bisa lebih baik,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)