Ilustrasi perkebunan sawit. Foto : info sawit.
BOGOR, BERITALINGKUNGAN.COM– Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Pulau Jawa terus menjadi topik perbincangan hangat. Meskipun Pulau Jawa bukanlah pusat utama perkebunan sawit, beberapa area seperti Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur telah melihat peningkatan signifikan dalam penanaman sawit.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah pengembangan sawit di Pulau Jawa benar-benar menguntungkan, ataukah hanya sekadar tren sesaat yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem dan ketahanan pangan?
Dr. I Gusti Ketut Astawa, S.Sos., MM, Deputi 1 Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional, menegaskan bahwa Pulau Jawa merupakan sentra pangan nasional.
“Rata-rata produksi komoditas pangan di Pulau Jawa mencapai 60% dari total produksi pangan nasional. Hal ini menjadikan Pulau Jawa sentra pangan nasional. Badan Pangan Nasional berusaha mengendalikan harga dari hulu hingga hilir dengan memastikan kesediaan pasokan pangan. Sawit bukan menjadi komoditas utama yang ingin didorong karena supply sawit di Indonesia sudah mencukupi bahkan dapat diekspor,” ujar Astawa dalam diskusi dan peluncuran buku “Gula-gula Sawit di Pulau Jawa (Harapan Manis Berbuah Tangis?)” yang diinisiasi oleh Sawit Watch pada 16 Mei 2024 di Kabupaten Buol.
f, menambahkan konversi lahan menjadi lahan sawit di Pulau Jawa merupakan fenomena baru.
“Sawit seharusnya tidak menjadi komoditas unggulan di Pulau Jawa. Sebaiknya, dikembangkan pangan dan kawasan hutan diberikan izin perhutanan sosial serta memberlakukan agroforestry. Berlakukan juga TORA untuk eks HGU yang sudah tak terpakai,” ujarnya.
Ia menyatakan bahwa sejarah perkebunan gula yang awalnya digemari lalu ditinggalkan bisa terulang pada sawit.
Arief Rahman, S.Si, M.Si, dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University, mengungkapkan meskipun perkebunan sawit di Pulau Jawa memiliki daya tarik, luas areanya sangat kecil hanya 0,21%.
“Sawit jauh dari tema bahkan jika ada sektor pertanian yang masuk adalah sektor pertanian pangan. Jawa tidak diarahkan untuk mengembangkan sawit sehingga petani sawit tidak mendapat dukungan dari pemerintah,” tutur Arief.
Tejo Wahyu Jatmiko dari Perkumpulan Indonesia Berseru menekankan pentingnya ketahanan pangan. “Ketahanan pangan belum dilihat secara serius oleh pemerintah. Lahan menyempit, jumlah mulut meningkat, produktivitas meningkat tipis. Kita ini selalu berbicara ketahanan pangan tapi bertumpu dengan impor,” ujarnya.
Ia menyarankan transformasi pangan dan menjaga pola konsumsi untuk stabilitas pangan.
Dari hasil kajian Sawit Watch dalam buku tersebut, ditemukan bahwa pengembangan sawit di Pulau Jawa tidak direncanakan dalam kerangka kebijakan nasional, yang lebih fokus pada tebu, kopi, kakao, dan kelapa. Pengembangan sawit sering menimbulkan konflik lahan dan masalah lingkungan di Pulau Jawa.
Oleh karena itu, Sawit Watch merekomendasikan beberapa hal: 1) Perlu mengkaji ilang pengembangan sawit di Pulau Jawa, 2) Pemisahan wilayah untuk pangan dan perkebunan menjadi penting agar melindungi lahan pangan, 3) Penting membuat kebijakan daerah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di level daerah untuk menjaga sumber pangan dari ancamanan alih fungsi, 4) Terkait pemanfaatan lahan keterlanjuran di kawasan hutan dapat diajukan perhutanan sosial melalui proses jangka benah dengan model agroforestri atau reforestasi, 5) Tidak merekomendasikan penanaman sawit baru yang dilakukan di area konservasi seperti pesisir dan kaki gunung yang memiliki tutupan hutan, 6) Perlu mengawasi keberadaan kebun sawit baru/alih fungsi menjadi sawit agar tidak memunculkan permasalahan.
Pengembangan sawit di Pulau Jawa memang menimbulkan perdebatan, namun prioritas harus diberikan pada ketahanan pangan dan keseimbangan ekosistem. Keputusan ini memerlukan kajian mendalam dan kebijakan yang bijak agar tidak merugikan masa depan pertanian dan lingkungan di Pulau Jawa (Marwan Aziz)