PEKANBARU, BERITALINGKUNGAN.COM – Temuan Eyes on the Forest (EoF) selama 17 tahun menunjukkan dampak buruk praktik korporasi perkebunan kelapa sawit bagi hutan alam dan keanekaragaman hayati. Temuan itu sekaligus menampik usulan Yanto Santosa, Guru Besar IPB University yang mengusulkan perkebunan kelapa sawit layak menjadi tanaman hutan.
Laporan investigasi koalisi Eyes on the Forest di pertengahan tahun ini mengungkapkan hanya 14% (0,8 juta hektar) kebun sawit di Provinsi Riau –-penghasil produk sawit terbesar di Indonesia— yang bisa dianggap legal karena ketaatan terhadap hukum, meskipun dari sisi lingkungan bisa dianggap berbeda.
“Konsekuensinya, 86% kebun sawit Riau harus dianggap ilegal, hingga verifikasi lapangan rinci dan akurat mampu membalikkan pernyataan ini,” papar EoF dalam keterangan tertulisnya, (26/11).
Selain itu, investigasi EoF pada 2019 menemukan 43 perkebunan sawit ilegal yang jadi sampel memiliki Tandan Buah Segar (TBS) ilegal yang dibeli oleh 15 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mencakup grup-grup Darmex, First Resources, Incasi Raya, Jhagdra, Mitra Agung Sawit Sejati dan Royal Golden Eagle.
Sebagian dari PKS itu diduga menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada 6 kilang milik Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle dan Wilmar.
“Itu menunjukkan bagaimana rantai pasok sawit internasional tercemari produk yang bermasalah dari hulu.”
Analisis GIS EoF menemukan fakta bahwa Provinsi Riau sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) memiliki 47% (2,5 juta Ha) perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan, termasuk Taman Nasional Tesso Nilo.
Selain itu, 39% (2,1 juta Ha) kebun sawit telah dibangun di luar kawasan hutan tanpa memiliki data pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) atau izin diperlukan (Hak Guna Usaha, HGU. Hanya 14% (0,8 juta Ha) dari kebun sawit Riau yang dianggap legal, karena terletak di luar Kawasan Hutan dan HGUnya tercatat oleh Pemerintah.
“Konsekuensinya, pemerintah perlu kerja keras untuk melakukan verifikasi legalitas,” tulis EoF.
Berdasarkan interpretasi visual citra satelit Landsat (2019 – 2020), sebanyak 59% (5,40 juta Ha) daratan Riau telah ditutupi kebun sawit. Seluas 3,26 juta Ha adalah tanaman monokultur kelapa sawit yang cukup tua, dikelola secara komersial (1,62 juta Ha) atau oleh petani kecil (1,64 juta Ha). Lalu 0,69 juta Ha merupakan lahan yang ditanami tanaman campuran termasuk kelapa sawit, dan 1,03 juta Ha adalah lahan yang baru dibuka dan ditutupi oleh vegetasi muda yang tumbuh kembali.
Termasuk kelapa sawit muda yang terlalu kecil dan tidak terlihat pada citra Landsat, dan 0,42 juta Ha adalah lahan yang baru dibuka dan tidak sepenuhnya tertutup oleh vegetasi, beberapa di antaranya mungkin akan ditanami bibit kelapa sawit muda. “Bagaimanapun, BPN hanya mendaftarkan 862.236 Ha dari area HGU di Riau pada 2016,” tulisnya.
Kebun sawit ilegal berada di 4.0% di Area Konservasi (Kawasan Suaka Alam (KSA)/ Kawasan Pelestarian Alam (KPA), 103.009 Ha termasuk 49.176 Ha di Taman Nasional Tesso Nilo), 4.6% di Hutan Lindung (HL, 116.105 Ha), 22.3% di Hutan Produksi Terbatas (HPT, 561.714 Ha), 32.9% di Hutan Produksi (HP, 830.211 Ha), dan 36,1% di Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK, 908.759 Ha).
“Jika sawit dijadikan tanaman hutan, maka segala status sawit ilegal ini ‘terputihkan’ alias menjadi legal.”
Sawit ilegal di dalam kawasan hutan tidak bisa dilepaskan dari praktik korupsi, seperti yang terjadi di beberapa provinsi ditunjukkan oleh grup Darmex Agro yang melibatkan CEO Darmex dan manajer, anak perusahaan, dan mantan Gubernur Riau. Jika sawit jadi tanaman hutan, maka kasus korupsi tak lagi dilanjutkan dan semua tersangka dan terdakwa bebas dari tuntutan hukum.
Perkebunan sawit illegal dalam kawasan hutan turut menjadi penyebab kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara di Riau, hingga level berbahaya berbulan-bulan pada 2015. Temuan EoF pada 2015, terdapat 15 dari 19 korporasi sawit yang terbakar berada dalam kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan 878 tahun 2014.
Hal yang sama disampaikan Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK pada Agustus 2016 yang menyebut, sebagian wilayah masih berada dalam kawasan hutan. Perusahaan yang berada dalam kawasan hutan di antaranya: PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Andika Permata Sawit lestari, PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Alam Sari Lestari, PT Pan United, PT Riau Jaya Utama, CV Nirmala, PT Agroraya Gematrans dan PT Bertuah Anekayasa, PT Duet Rija, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Pancasurya Agrindo, PT Peputra Supra Jaya, PT Pusaka Mega Bumi Nusantara, PT Runggu Prima Jaya dan PT Tesso Indah.
Tak hanya itu, perkebunan sawit telah menyebabkan kerusakan sekala besar habitat penting bagi banyak spesies. Hal itu terjadi di Landsekap Tesso Nilo. Habitat harimau dan gajah semakin terisolasi, sumber makanan dan tempat tinggal mereka semakin berkurang.
“Begitupun konversi hutan menjadi sawit secara ilegal menghabisi habitat harimau seperti terjadi di koridor Bukit Betabuh maupun lansekap Bukit Tigapuluh,” terungkap dalam investigasi koalisi EoF.
Hal itu memicu konflik antara manusia dan satwa liar terus meningkat, karena tanpa habitat alami, satwa liar semakin sering bersinggungan dengan manusia. “Ketika keberadaan hutan sebagai habitat alami satwa liar disamakan dengan perkebunan sawit, maka kepunahan kian nyata di depan mata,” pungkas EoF dalam siaran persnya. (Jekson Simanjuntak)