Kerusakan lahan gambut Rawa Tripa, Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Foto : Atjehpost.com. |
JAKARTA, BL- Satgas Kelembagaan REDD+ menyampaikan apresiasi kepada seluruh kementerian dan lembaga penegak hukum yang cepat merespon kasus pelanggaran hukum di lahan gambut Rawa Tripa, Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam.
“Dengan kinerja sebaik ini, bisa diharapkan bahwa kasus ini tertangani dengan semestinya, sehingga hukum bisa ditegakkan dengan baik. Jika memang terbukti terjadi pelanggaran, maka baik pihak perusahaan mau pun pihak-pihak di dalam birokrasi pemerintahan yang terlibat perlu ditindak dengan tegas, untuk hal mana kami akan terus memantau dan memonitor dengan teliti,” kata Ketua Satgas REDD+, Kuntoro Mangkusubroto melalui keterangan Persnya yang diterima Beritalingkungan.net
Secara khusus apresiasi ini diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kementerian Kehutanan. Kuntoro juga menyampaikan apresiasi kepada pihak masyarakat sipil yang terus memantau kinerja pemerintah dan memberikan masukan yang konstruktif terkait kasus ini.
Sebagai kawasan rawa gambut dan habitat satwa langka yang khas seperti orangutan, Rawa Tripa dipandang penting untuk dijaga kelestariannya. Terkait dengan hal ini, pemerintah menanggapi secara serius berbagai masukan terkait kontroversi lahan sawit milik PT Kalista Alam (PT KA) di dalam area Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) I. Lahan ini kemudian terbakar pada saat bersamaan dengan terjadinya kebakaran lahan gambut di area konsesi PT Surya Panen Subur 2 (PT SPS2).
Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Tim dari Mabes Polri dan Kejaksaan Agung langsung merespon kejadian tersebut, dengan cara menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan penyelidikan.
Dari penyelidikan itu, ditemukan indikasi atas sejumlah pelanggaran. Pertama, ada indikasi pembukaan lahan gambut baru seluas 1.605 hektar sebelum keluarnya izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B) dari Gubernur dan Hak Guna Usaha (HGU). Kedua, terdapat indikasi adanya pembukaan lahan gambut tersebut melalui pembakaran.
Dengan indikasi-indikasi tersebut, aparat penegak hukum berkesimpulan adanya pelanggaran hukum dan oleh karenanya mengambil langkah-langkah, antara lain, pembakaran lahan, baik yang terjadi di PT SPS 2 mau pun di PT KA diduga dilaksanakan secara sistematis, dengan demikian arah penegakan hukum seharusnya tidak hanya kepada pelaku perseorangan, namun juga kepada badan usaha terkait.
Sesuai dengan Pasal 69 huruf h UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap “orang” dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Lebih lanjut, Pasal 116 UU yang sama menyebutkan bahwa sanksi dijatuhkan kepada badan usaha atau pemimpin badan usaha apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk atau atas nama Badan Usaha. Pelanggaran terhadap Pasal 69 huruf h tersebut diancam pidana penjara antara 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) tahun dan denda antara Rp 3.000.000.000 (tiga miliar Rupiah) hingga Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar Rupiah).
Selain proses pidana, proses perdata berupa gugatan ganti rugi atas kerugian Negara sebagai akibat dari kebakaran yang terjadi di PT SPS2 dan PT KA, juga wajib dilakukan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, mewakili Negara dapat mengajukan gugatan ganti rugi, yang pengajuannya dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap.
Pembukaan lahan (land clearing) dan penanaman sawit tanpa IUP-B dan HGU oleh PT KA di sebagian besar lahan seluas 1.605 hektar telah terverifikasi berdasarkan dokumen-dokumen yang ada mau pun pengakuan pihak PT KA sendiri di hadapan Menteri Kehutanan dan Wakil Ketua MPR/anggota DPD asal Aceh (Farhan Hamid) pada kunjungan kerja tanggal 6 Mei 2012.
Menurut UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, proses hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pembukaan lahan dan penanaman sawit tanpa IUP-B dapat diancam pidana. Oleh karenanya, proses hukum atas hal ini harus terus dilanjutkan.
Terkait ketebalan gambut, baik lahan perkebunan yang terbakar di PT SPS2 mau pun di PT KA, data menunjukkan bahwa terdapat lahan yang mempunyai kedalaman gambut di atas 3 (tiga) meter. Adanya izin kebun sawit di atas lahan dengan kondisi demikian melanggar Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, serta berbagai aturan terkait pemanfaatan lahan gambut lainnya. Oleh karena itu, Gubernur Aceh perlu meninjau kembali Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT SPS2, khususnya di lahan yang terbakar, maupun Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT KA.
Selain itu, tindakan kedua PT yang membuka lahan dengan metode pembakaran merupakan hal yang dilarang dan seyogyanya dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin sesuai dengan Pasal 39 jo. Pasal 34 huruf d Permentan No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. (Marwan Azis).