
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (kiri) menerima laporan dari Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia (kanan) dalam Rapat Paripurna DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2025). Rapat tersebut mengesahkan revisi keempat UU Minerba. FOTO: Jawa Pos.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Di tengah urgensi global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, Indonesia justru mengambil langkah sebaliknya. Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh DPR RI menuai kritik tajam dari berbagai organisasi lingkungan dan masyarakat sipil.
Alih-alih memperbaiki tata kelola sumber daya alam, revisi ini dianggap semakin menguntungkan industri ekstraktif, mengabaikan hak masyarakat terdampak, dan menjauhkan Indonesia dari transisi energi bersih.
Pemerintah berargumen bahwa revisi UU Minerba bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi dan industrialisasi. Namun, substansi perubahan yang ada justru menunjukkan arah yang berlawanan. Pengutamaan kebutuhan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) serta perpanjangan izin operasi tanpa evaluasi ketat memperpanjang usia industri yang bertanggung jawab atas emisi karbon tinggi.
Padahal, data menunjukkan bahwa potensi energi terbarukan di Indonesia begitu melimpah, tetapi pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Energi surya, misalnya, memiliki potensi 3.294,4 GW tetapi baru dimanfaatkan 0,01%. Begitu pula dengan energi angin dan air yang masih minim pemanfaatannya.
“Jika dalihnya membuka kesempatan bagi masyarakat melalui BUMD, koperasi, dan perguruan tinggi, seharusnya yang didorong adalah pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dengan regulasi yang mempermudah akses dan investasi,” ungkap Sisilia Nurmala dari 350 Indonesia.
Eksploitasi Tanpa Akuntabilitas
Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah kebijakan yang memudahkan perpanjangan izin tambang hingga 10 tahun tanpa mekanisme evaluasi yang ketat. Greenpeace menyoroti lemahnya sanksi bagi perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.
Lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi, polusi air, serta hilangnya ekosistem di sekitar lokasi tambang menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat sekitar.
“Banyak perusahaan tambang meninggalkan lahan terbuka yang tidak dipulihkan, menyebabkan longsor dan pencemaran air. Masyarakat yang tinggal di sekitar tambang harus menanggung dampaknya, tetapi mereka tidak memiliki akses untuk menuntut keadilan,” ujar Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia.
ICW juga mengkhawatirkan celah korupsi dalam pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Pasal-pasal baru membuka ruang bagi favoritisme, suap, dan gratifikasi, sehingga akses terhadap izin tambang cenderung jatuh ke tangan segelintir elite yang dekat dengan kekuasaan.
Di luar aspek lingkungan, revisi ini juga berisiko memperburuk konflik sosial. Industri tambang selama ini kerap dikaitkan dengan perampasan tanah masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, serta bentrokan antara perusahaan dan warga lokal. Dengan semakin luasnya pihak yang bisa mendapatkan izin usaha pertambangan—termasuk organisasi berbasis massa seperti ormas keagamaan—konflik horizontal antara warga yang pro dan kontra terhadap tambang diprediksi akan meningkat.
“Kita sudah melihat bagaimana konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang sering kali berujung pada kriminalisasi. Dengan adanya regulasi baru ini, masyarakat akan semakin sulit untuk mempertahankan hak atas ruang hidup mereka,” kata Muhamad Isnur dari YLBHI.
Revisi UU Minerba juga mengubah tata kelola ruang dan kawasan secara signifikan. Pasal 17A memungkinkan penetapan WIUP sebagai dasar pemanfaatan ruang dan kawasan, tanpa mempertimbangkan tata ruang yang telah ada. Ini berarti, wilayah yang sebelumnya diperuntukkan bagi pemukiman atau pertanian bisa saja dialihkan menjadi zona pertambangan, semakin memperparah konflik agraria dan mempercepat perampasan tanah petani dan masyarakat adat.
Langkah Mundur di Tengah Krisis Iklim
Di saat dunia bergegas untuk menekan emisi karbon dan beralih ke energi bersih, keputusan Indonesia untuk memperkuat industri batubara mencerminkan kegagalan dalam membaca arah kebijakan global. RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) yang seharusnya menjadi pijakan transisi energi justru terus mengalami penundaan, sementara UU Minerba disahkan dalam waktu singkat.
Hal ini menunjukkan keberpihakan yang lebih besar kepada kepentingan oligarki energi fosil dibandingkan kepentingan publik dan lingkungan.
“Revisi UU Minerba ini merupakan potret kebijakan yang menunjukkan bahwa kepentingan industri batubara lebih diutamakan dibandingkan perlindungan lingkungan dan kesehatan rakyat,” ujar Wahyu Eka Styawan dari WALHI Jawa Timur.
Mendesak Pembatalan UU Minerba
Gerakan #BersihkanIndonesia bersama berbagai organisasi lingkungan menuntut Presiden untuk segera membatalkan pengesahan UU Minerba yang telah disetujui DPR RI. Selain itu, mereka juga mendesak percepatan pembahasan RUU EBET yang akan membuka jalan bagi diversifikasi energi yang lebih bersih dan berkeadilan.
Dalam beberapa tahun ke depan, keputusan ini akan menjadi ujian bagi masa depan lingkungan Indonesia. Apakah Indonesia akan tetap terjebak dalam ketergantungan pada energi kotor, ataukah akan berani mengambil langkah maju menuju energi yang lebih berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat? (Marwan Aziz).