World Wildlife Fund (WWF) dituding lakukan “Greenwashing” dalam pengembangan standar-standar tambak udang.
Tuduhan tersebut disampaikan ratusan organisasi non pemerintah di Asia, Amerika Latin, Africa, Amerika Utara dan Eropa yang mendatangi kantor WWF. Mereka memprotes WWF, sebagai organisasi yang kurang kepeduliannya terhadap lingkungan dan penghidupan masyarakat, dan menyiratkan kepentingan keuntungan industri dari tambak udang
Ratusan organisasi non pemerintah di Asia, Amerika Latin, Africa, Amerika Utara dan Eropa memprotes WWF, sebagai organisasi yang kurang kepeduliannya terhadap lingkungan dan penghidupan masyarakat, dan menyiratkan kepentingan keuntungan industri dari tambak udang.
Cna-ecuador.com melaporkan, para aktvis lingkungan itu menyerahkan surat terbuka kepada WWF di hari Rabu lalu sebagai protes terhadap Komite Pengarah WWF untuk Dialog Budidaya Udang WWF (SHAD) dan rencana Aquaculture Stewardship Council (ASC) terkait standar akuakultur udang.
“WWF sedang berupaya melakukan pencucian tangan atas pengrusakan lingkungan (baca: greenwashing), dan menjalankan praktik kotor (baca: corrupt) melalui sertifikasi produk mewah ini,” ujar Luciana Queiroz dari Redmanglar, mewakili sebuah jaringan 254 organisasi di 10 negera Amerika Latin.
“WWF greenwashing industri merusak lingkungan dan korup melalui sertifikasi ini produk mewah,” kata Queiroz Luciana dari Redmanglar, mewakili sebuah jaringan dari 254 organisasi di 10 negara Amerika Latin.
Dalam surat itu, mereka memprotes penghancuran hutan bakau dan zona-zona pesisir. Tiga ratus organisasi di Amerika Latin, Asia dan Afrika member tandatangan, juga 30 organisasi di Amerika Serikat dan Eropa. Surat tersebut dicap dengan logo dari sejumlah organisasi tuan rumah, termasuk Food and Water Watch dan Stockholm Society for Nature Conservation.
Mereka mengklaim WWF sudah menghabiskan 4 tahun dan setidaknya 2 Juta dolar Amerika (atau 1,5 juta euro) untuk mengembangkan standar, yang tanpa melibatkan para pemangku kepentingan atau pun pengguna sumber daya.
Dari total 13 poin keberatan yang diajukan, organisasi tersebut mengklaim bahwa kriteria standarisasi yang dikembangkan berdasarkan keinginan untuk memastikan agar 20 persen industri udang yang ada mampu mendapatkan sertifikasi, segera setelah standar dirilis. Standar itu akan mengukuhkan sistem yang tidak berkelanjutan dan merusak perikanan budidaya, pungkas kelompok-kelompok tersebut.
Beberapa poin keberatan lain :
Konversi bakau dan zona-zona pesisir menjadi tambak-tambak udang untuk industri ekspor yang menyebabkan kerusakan lingkungan parah, keroposnya keanekaragaman hayati dan sumber daya perikanan alam, juga erosi garis pantai. Hal tersebut akan meningkatkan respon terhadap badai dan tsunami, yang serta merta melepaskan sejumlah besar massa karbon, sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Penggunaan pakan ikan skala besar menambah buruk, setelah semua persoalan di atas. Penduduk pesisir di negara-negara tropis akan sangat terkena dampak berupa kehilangan sumber pendapatan, ketahanan pangan dan menurunnya proteksi terhadap badai. Mereka yang memprotesnya tidak jarang mengalami pelanggaran hak azasi manusia.
Berlanjutnya produksi kebijakan yang tidak memenuhi kelayakan dan kurangnya penegakan hukum di Negara-negara produsen menjadikan kepatuhan pada stadar sertifikasi menjadi sulit terpenuhi.
Sertifikasi WWF melegitimasi situasi ini dengan memberikan “stempel hijau” untuk pengolahan udang.
Standar sertifikasi mereka baru-baru ini difinalisasi, dan akan diserahkan ke perusahaan sertifikasi bernama Aquaculture Stewardship Council (ASC).
Standarisasi sudah dikembangkan oleh WWF dan industri akuakultur melalui proses yang disebut Dialog Akuakultur Udang (Shrimp Aquaculture Dialogue/ ShAD). WWF mengatakan bahwa ShAD, membawa semua pemangku kepentingan, seperti produsen udang dan elemen-elemen rantai pasokan, peneliti, organisasi non pemerintah, dan pejabat pemerintah untuk terlibat dalam pengaturan standar secara kolaboratif dan sukarela. (Marwan Azis).