JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sangat mengecewakan bagi pemohon dan juga publik.
Tim Advokasi UU Minerba yang menjadi kuasa para pemohon (masyarakat terdampak tambang) menilai, putusan Mahkamah Konstitusi memperkokoh kepentingan oligarki tambang sekaligus menghancurkan keselamatan rakyat. Hakim MK telah mengabaikan hak konstitusi rakyat atas keselamatan hidup dan lingkungan yang sehat.
Juru bicara #BersihkanIndonesia Ali Akbar menilai, Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan argumentasi akses masyarakat atas layanan publik dan gagal melihat kenyataan yang sudah terjadi di masyarakat pasca berlakunya UU Minerba. Sementara itu, masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat.
“Keputusan MK ini mengkhianati agenda reformasi karena salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi yakni mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah,” ujar Ali yang juga perwakilan dari Kanopi Bengkulu.
Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini merupakan kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. “Akibatnya nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Rere Jambore Christanto dari WALHI mengatakan, apa yang terjadi di Trenggalek seharusnya menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Di sana, bupati sudah mengirimkan surat untuk mencabut pertambangan emas, lalu Wakil Gubernur Jawa Timur mendukung surat tersebut.
“Jadi dua pejabat daerah sudah berkirim surat untuk pencabutan izin, tapi pemerintah pusat tidak membatalkan izin yang dikeluarkan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, putusan Mahkamah Konstitusi telah gagal untuk melihat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara holistik. Ini tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak mempertimbangkan argumen pemohon bahwa “jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang” pada wilayah pertambangan menihilkan semua saran dan masukan masyarakat yang menolak tambang akibat kerusakan lingkungan di sekitar ruang hidup mereka.
Lasma Natalia dari tim Advokasi UU Minerba beranggapan serupa. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi telah gagal untuk melihat bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdiri dari hak substansial dan hak prosedural. Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan sama sekali pemenuhan aspek prosedural hak atas lingkungan (layanan publik, partisipasi, keadilan).
“Dengan demikian akan berdampak pada pemenuhan substansi hak atas lingkungan masyarakat sekitar tambang nantinya,” ujar Lasma yang juga perwakilan LBH Bandung.
Menurut Lasma, Mahkamah Konstitusi justru mengulangi kekacauan berpikir pemerintah dengan mengamini argumen bahwa evaluasi dan revisi rencana tata ruang menyesuaikan izin usaha pertambangan yang sudah ada, meskipun terdapat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Senada dengan itu, perwakilan JATAM Kaltim Mareta Sari khawatir, UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat.
“Kami takut, lahan pertambangan di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 5,2 juta hektar itu bisa meluas dan beban masyarakat semakin berat untuk melindungi kawasan dan aturan yang ada tidak bisa melindungi mereka ketika ada konflik,” kata Mareta.
Permohonan JR UU Minerba Ditolak
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak tiga dari empat pokok permohonan Judicial Review UU Minerba, yaitu terkait (1) menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; (2) potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan (3) jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B. Hal itu tertuang dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis, 29 September 2022.
Selain itu, Majelis Hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran “sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Hasil dari Judicial Review UU Minerba ini merupakan pukulan bagi masyarakat karena Mahkamah Konstitusi turut serta mempersempit ruang partisipasi masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Pasal 162 merupakan pasal prematur berbeda dengan kenyataan di masyarakat yang selama ini justru dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut.
Selain itu, dalam permohonan terhadap Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba telah menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi berfokus pada pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah yang bukan menjadi inti permohonan. (Jekson Simanjuntak)